Sosok Levi yang berdiri di atas jembatan seolah tidak nyata. Ada Ursa di sampingnya sambil memandangi ikan hilir mudik di sungai kecil tepi jalan raya. Levi meraih tangan bocah itu lantas menariknya ke arah mobil, menyusul iringan pelayat.
Pada akhirnya, Bibi mengembuskan napas terakhir dini hari bersama Arsilla dan si kembar yang tidur mengelilinginya. Amara tidak pernah punya kesempatan untuk berpamitan dengan perempuan itu, dia dan Obeida hanya melepaskan jenazah sang nenek diarak dalam keranda menuju pekuburan. Ibunya juga tidak ikut. Ibu terlalu lelah dan bersedih hingga harus beristirahat di rumah. Sementara itu, mertua Amara pulang lebih dulu bersama keluarga Levi yang lain. Kematian Bibilah yang mengumpulkan dua keluarga dan sementara melupakan perseteruan di antara mereka.
Diam-diam, Amara dan Levi tidak lepas dari tatapan semua yang hadir. Sebagian telah mengetahui sepak terjang Levi dalam percintaan, hingga mereka masih bertaruh tentang masa depan rumah tangga pasangan itu. Dengan latar belakang konflik keluarga di masa lalu, tidak sedikit yang memprediksi bahwa pernikahan keduanya takkan bertahan lama. Namun, sejauh ini sudah ada ada Ursa dan Obeida yang jauh melebihi dugaan semua orang.
Saat Levi kembali bersama Ursa, Amara merasa lintasan hidupnya melengkung ke titik semula. Levi masih punya hati untuk membersamainya dalam masa berduka. Amara bersyukur bahwa menikahi sepupunya ternyata bukan keputusan keliru. Seberat apa pun konflik yang terjadi, mereka pasti akan bertemu lagi sebagai keluarga.
“Kamu nanti menginap?” tanya Amara penuh harap. Namun, gelengan pendek Levi mengguncang hati Amara. Lelaki itu rupanya masih memendam amarah dan menghindar.
“Tapi, haul nanti datang, ‘kan?”
“Insyaallah, aku lihat dulu.”
Masih ada kemungkinan Levi tidak hadir. Jika itu terjadi, Amara kecewa, pasti. Namun, tidak mungkin Amara memendam amarah yang sama lama-lama. Levi sudah memenuhi kebutuhan nafkah mereka, termasuk biaya sekolah Ursa. Lelaki itu juga tampak betah menimang Obeida yang sudah lama diabaikan oleh sang ayah. Hati istri dan ibu mana yang tidak luluh? Kehadiran seorang ayah tetap merupakan hadiah terbaik untuk buah hatinya.
“Aku pulang dulu, ya?” pamit Levi selepas asar. Amara mengangguk. Dia lega karena Levi tidak memaksanya ikut ke rumah bekas kediaman sementara mereka karena Amara sudah betah berada dekat Ibu dan lingkungan masa kecilnya. Amara pun tidak sempat memikirkan tentang Chika hingga kecemasannya muncul setelah Levi benar-benar pergi. Benak Amara dipenuhi kegelisahan, apakah Levi akan pulang ke rumah sang mertua atau malah ke rumah gadis itu?
Amara pun gagal menahan diri. Suaminya sedang dalam perjalanan, tetapi dia ingin menghubungi Levi sesegera mungkin. Amara bicara blak-blakan dalam pesannya.
Lev, kamu masih sering ke rumah Chika? Kamu mikir perasaan anak-anak, enggak? Mereka butuh kasih sayang kamu, tapi kamu malah sibuk sama anak orang lain. Gimana perasaan kamu jika Ursa dan Obeida juga punya ayah baru?
Kamu ngomong apa, sih? Aku enggak ketemuan lagi sama Chika. Gara-gara kamu, aku diusir dari grup musik. Levi balik menyalahkan dirinya. Andaipun jika pengakuan suaminya benar, tetap saja lelaki itu menyudutkannya tanpa rasa bersalah. Harga diri Amara terluka.
Salah kamu karena sempat-sempatnya flirting sama teman grup sendiri. Introspeksi diri, dong, Lev! Kamu sebenarnya mau main musik atau main serong, sih? Kamu selalu menganggap temanmu lebih baik daripada aku. Aku pasanganmu, aku yang tahu kamu luar dalam, bahkan Chika saja enggak kenal kamu sebaik aku, tapi kenapa kamu memperlakukan aku seperti musuh?
Levi membalas tak kalah sengit. Aku muak, tahu, enggak, ngomong sama kamu! Kalau bukan karena anak-anak, aku enggak mau ketemu lagi sama kamu. Aku menyesal nikah sama kamu.
Enggak bakal ada Ursa dan Obeida jika kamu enggak nikah sama aku! Kasihan sekali nasib mereka. Sama saja kamu menganggap mereka musuhmu karena anak-anak juga bagian dariku. Jauhi saja kami, Lev. Kamu enggak pantas jadi teladan buat anak-anakku. Aku takut kamu malah jadi pengaruh buruk buat mereka. Saking berangnya, Amara sampai khilaf menantang suaminya, hingga bangkitlah singa tidur dalam diri Levi.
Kamu merasa pintar jadi selalu melawan suami?
Amara menyudahi percakapan mereka yang berujung menjadi ide buruk. Pikiran Levi masih belum jernih akibat kehilangan target selingkuhannya. Di satu sisi, Amara bersorak gembira karena hubungan Levi dan Chika berakhir. Kebenaran akan selalu menang, sesuatu yang dimulai dengan buruk tidak akan berbuah kebaikan–itu adalah nilai yang dijunjung tinggi bukan hanya dalam fiksi, tapi juga di dunia nyata. Sedari awal, Amara berpikir Chika adalah gadis aneh. Chika tahu Levi sudah punya anak istri dan kondisi keluarganya sedang tidak baik-baik saja, tetapi gadis itu tetap nekat masuk dalam pernikahan mereka. Motif Chika pasti tidak murni karena cinta, tetapi lebih dangkal dari itu, yakni uang. Apalagi Levi memang suka pamer hasil kerja kerasnya di media sosial. Keduanya memang serasi–sama-sama menyedihkan. Andai tidak ada Ursa dan Obeida, tentu Amara kali ini tidak akan berpikir dua kali untuk meninggalkan suaminya. Seharusnya, dia tinggalkan saja Levi dulu saat mengkhianatinya berkali-kali. Bahkan, dia tidak akan pernah berpikir untuk menikah dengan lelaki itu. Amara seharusnya bersedia dijodohkan dengan lelaki kaya pilihan ibunya, tentu Amara dan buah hatinya akan lebih bahagia.