Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #17

Resistansi

Kejam sekali cara Levi memanfaatkan dirinya. Jika ini adalah jalan untuk berbaikan dengan suaminya, Amara siap mengambil risiko untuk mengambil jalur berlawanan arah. Bukan semata-mata akibat dorongan ego, tetapi Amara mengkhawatirkan nasib anak-anaknya jika Levi berpoligami. Perempuan mana lagi yang sudah tidak sabar ingin Levi peristri?

“Ibu minta maaf sudah mengabaikan masalah kamu karena sibuk mengurus Bibi kemarin, Mar. Sekarang, pergilah kamu minta nasihat ke ustaz. Usahakan kalian datang sama-sama agar duduk berdua untuk menyelesaikan masalah ini!” Hanya itu titah yang turun dari ibunya ketika Amara mengadukan permintaan Levi yang menurutnya tidak adil. Levi mempermainkan kehidupannya demi nominal yang sedikit. Amara juga tidak tahu kenapa mereka harus pergi ke ustaz ahli hikmah, bukannya penghulu pernikahan atau penasihat perkawinan yang kompeten menangani konflik rumah tangga. Seperti biasa, Ibu tidak mau ikut campur. Ibu mungkin sudah lelah melibatkan diri dengan keluarga besannya, maka Amara harus tahu diri. Dia hanya bisa menurut ketika Arsilla menawarkan diri unuk mengantarkan. Arsilla pasti ingin mengikuti kasus tersebut lantaran geram karena Levi menunjukkan gelagat ingin kabur dan menghindari konfrontasi diam-diam.

Mereka tiba di rumah kediaman milik sang ustaz yang besar dan dikeillingi gerbang tinggi. Karena berada di pusat kota yang padat, mobil Arsilla tadi harus merayap pelan masuk kompleks beruas jalan kecil. Ada seorang ibu nyaris sebaya dengannya sedang mengasuh bocah dan balita di halaman yang langsung menarik perhatian Amara. Ustaz yang mereka datangi sepertinya masih muda. 

Prasangka Amara terbukti ketika melihat sesosok lelaki yang duduk bersila dikelilingi oleh beberapa tamu–tampaknya satu keluarga. Mereka sedang berkonsultasi. Di hadapan sang ustaz, berjajar botol-botol pil herbal. Amara mulai disorientasi karena tidak paham sebetulnya sedang meminta bantuan pada siapa. Ustaz tersebut lebih terlihat seperti dosen perguruan tinggi di matanya. 

Levi menyusul datang kemudian setelah ditelepon, dengan sedikit ancaman tentu oleh ibunya. Levi mencari keberadaan Ursa, tetapi bocah itu Amara percayakan pada sang nenek. Hanya Obeida yang dia bawa serta. Namun, Levi tampaknya sedang tidak tertarik pada si bungsu sehingga Amara cukup kecewa. 

“Untuk apa kita ke sini? Apa yang kamu rencanakan, Amara?” tanya Levi penuh curiga dan merasa terbebani oleh teka teki tindakan sang istri. 

“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu masih mencoba mengacau? Apalagi alasan kamu kali ini? Ibuku mulai bersikap baik sama kamu, tapi kamu malah balik bertingkah.”

“Sudah, Kak. Jangan bicara di sini, nanti saja di dalam.” Arsilla menengahi perdebatan mereka penuh waswas. Hubungan pasutri itu kian memanas dan siap membakar orang lain di sekitarnya. Arsilla sampai kegerahan. “Aku saja yang gendong Obeida,” katanya seraya mengambil bayi dalam pelukan Amara ketika tiba giliran mereka menghadap sang ustaz. Obeida sedikit rewel ketika dia dipaksa berhenti menyusu lantas berpindah ke lengan tantenya. 

Lelaki jangkung berkacamata yang duduk bersila, mungkin seorang cendekia–Amara simpulkan dari lemari penuh kitab-kitab di belakangnya, menatap tajam setiap gerak-gerik yang mereka buat saat mengambil tempat di lantai beralas permadani. Mereka duduk di ruang tamu serupa aula. Dari tata ruangnya yang tidak banyak barang, tetapi amat bersih dan terawat, Amara yakin tempat itu sekaligus difungsikan sebagai area pertemuan massal atau mungkin semacam kajian rutin.  

“Kalian memendam masalah berat sejak lama.”

Amara terkejut mendengar kalimat pertama sang ustaz, sedangkan Levi menatap skeptis. Ibarat sebuah ujian, mereka sedang menjalani sesi wawancara setelah babak belur berusaha menyelesaikannya sendiri. Sang ustaz jelas bukan dukun. Konflik mereka pasti tergambar melalui ekspresi serta interaksi yang ditangkap oleh lelaki itu sejak mereka masuk ke ruangan. Tidak banyak memang, tapi Amara tahu bahwa ada orang-orang di dunia ini yang memiliki kepekaan luar biasa untuk memahami orang lain. Amara tidak nyaman, dia merasa dikuliti lalu diamati dengan kaca pembesar. Dia berharap Levi juga merasakan hal yang sama, tetapi sikap Levi terlalu santai tanpa kesan masygul. Levi pasti sedang berada di atas angin dan siap melontarkan serangkaian senjata untuk memenangkan perang mental ini. 

“Sekarang, apa mau kalian?”

“Maksud Ustaz?” Amara pura-pura tidak mengerti, tetapi sia-sia saja. Sudah sedemikian jelas rupanya bahwa mereka adalah pasangan yang siap berpisah sewaktu-waktu hanya dengan menekan tombol picu. 

“Keinginan saya sederhana saja.” Levi membuka telapak tangannya di atas lutut. “Saya ingin menikah lagi.”

Amara menatap tajam suaminya yang bertingkah seperti anak kecil dan keinginannya harus dituruti. Levi bahkan tidak malu-malu mengucapkannya di dekat sang adik ipar yang mendengarkan percakapan keduanya dengan tekun.

“Bagaimana? Kamu terima?” Ustaz itu malah bertanya pada Amara. Tak terungkap rasa kecewa Amara. Dia bagaikan sedang berada dalam pengadilan patriarki. Perempuan senantiasa tunduk pada kemauan lelaki apa pun alasannya. Arsilla pun tidak tega untuk mengikuti pembicaraan itu dari dekat, hingga sang adik memilih membawa Obeida menjauh dari pandangan mereka. Hanya ada Amara dan Levi yang berhadapan kali ini, tidak ada tameng anak-anak. Amara merasa ditinggal seorang diri. Inikah rasanya pengadilan di akhirat kelak? Biasanya, Amara selalu unggul dalam perdebatan dan jarang terkalahkan, tetapi kali ini dia telah bertemu lawannya. Seseorang yang siap membela Levi tanpa menaruh iba terhadapnya karena sang ustaz bukan siapa-siapa baginya ataupun Levi. Inilah hakim adil yang dimaksudkan oleh ibunya. Amara ingin marah, tetapi dia tidak mungkin kehilangan kendali. Sekalipun demikian, air matanya mulai meleleh seiring gelengan kepalanya. 

“Saya yakin suami saya enggak akan mampu berbuat adil, Pak.”

Lihat selengkapnya