Levi akhirnya menyetujui permintaan Amara untuk kembali mengasah dirinya dalam dunia literasi. Alih-alih khawatir akan keteteran mengurus buah hatinya, Amara justru merasa antusiasme membuncah dan mengaliri seluruh tubuhnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia resmi kembali menulis.
Amara duduk di depan meja lipat dan laptop yang sudah lama tidak dioperasikan sampai benda itu berdebu. Kemampuan menulisnya pun seolah berkarat oleh waktu. Sesekali, dia melirik Obeida yang dibaringkan di kasur dan mulai belajar berguling ke samping. Sementara itu, jemarinya menari dengan lincah di papan ketik begitu masuk ke dalam grup obrolan.
Setelah perkenalan profil singkat dari mentor yang merupakan sutradara dan produser dari sebuah rumah produksi, kelas yang diikuti oleh belasan peserta pun dimulai. Semua peserta diminta oleh sang mentor untuk langsung mempraktikkan latihan di hari pertama untuk membuat judul. Ternyata, tidak sesederhana yang Amara bayangkan. Sudah hampir dua puluh menit berjalan, tetapi tidak ada satu pun judul yang dianggap menarik dan diloloskan oleh sang mentor. Amara mulai tidak sabar dan ikut membaca usulan judul dari peserta lain. Dia sungguh tidak paham standar judul yang menarik di mata Pak Sut–Amara lebih tertarik untuk memikirkan sebuah julukan untuk sang sutradara. Agak aneh rasanya dibimbing lagi oleh seorang mentor setelah dia kehilangan sosok mentor pertama dengan cara yang tragis.
Ketika tidak ada satu pun judul yang lolos dari kualifikasi, Pak Sut melanjutkan bimbingan ke sesi mengolah premis yang kuat. Mereka diminta untuk menentukan premis dari film yang beredar di kalangan penonton. Amara mencoba menyusunnya berdasarkan rumus dari Pak Sut dan sesi ini cukup mudah baginya. Dalam dua kali pengajuan, referensi premisnya diterima, hingga dia langsung disuruh untuk membuat premis ceritanya sendiri.
Sambil menyiapkan lima premis pertama yang ada di kepalanya, teka teki judul yang menarik masih berputar-putar di kepalanya. Ritme pikirannya mulai kacau. Dua latihan tersebut menjadi makin rumit kala deretan judul dan premis yang muncul di layar berguguran satu demi satu. Kelima premis Amara tumbang seketika. Amara berdecak kesal, padahal dia sudah melakukan sesuai tips dari sang mentor. Amara pun nekat mengajukan sebuah premis yang menghantui benaknya sejak lama. ‘Paksu ingin bercerai dari istrinya agar bisa menikah dengan gadis lain, tetapi dia tidak ingin kehilangan anak-anaknya hingga dia merancang sebuah kecelakaan untuk menghilangkan nyawa istrinya’.
Terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Hak asuh ditentukan oleh pengadilan dan Paksu bisa menikah lagi tanpa harus menceraikan istrinya. Jika dia terlibat masalah hukum, bukannya justru terancam dipenjara dan tujuannya tidak akan tercapai? Kamu juga terlalu percaya diri membuat tokoh protagonis villain. Penulis film profesional pun jarang mengambil risiko begini. Kamu yakin bisa menarik penonton dengan cara itu? Inilah bedanya antara profesional dan pemula yang terlalu banyak berkhayal.
Sekujur tubuh Amara mendidih membaca respons dari Pak Sut. Meskipun bukan penulis terkenal, tetapi Amara sama sekali bukan pemula. Dia sudah menulis banyak novel dan cerpen melebihi bilangan jari-jarinya. Tulisan-tulisan itu juga berbobot dan butuh riset mendalam. Karena itulah, Amara tidak mau kalah. Dia kembali mengajukan premis berikutnya yang melintas di kepala.
Gimana kalau ini, Pak? Bijou ingin menyembunyikan identitasnya sebagai ahli bela diri berbakat agar tidak dipaksa mengikuti akademi tentara kerajaan. Dia berteman dengan Fana yang ceroboh dan tidak populer, tetapi Bijou terpaksa mengajari Fana ilmu bela diri agar selamat dari perundungan para bandit’.
Bijou dan Fana ini laki-laki atau perempuan?
Bijou cewek, sedangkan Fana cowok, Pak. Fana akhirnya akan menaruh hati pada Bijou lalu mengajukan diri untuk menggantikan Bijou saat identitas Bijou terbongkar–
Tunggu, kita belum masuk sinopsis. Saya ingin membahas premis kamu yang lucu. Untuk apa Bijou mengajari Fana bela diri kalau pada tujuan semula, Fana cuma dijadikan alat samaran? Bijou cukup tidak bertindak apa-apa dan sistem akan berjalan dengan semestinya.
Saya ingin karakternya berkembang, Pak. Bijou terpaksa mengambil risiko tersebut karena dia juga menaruh hati pada Fana.
Mereka tinggal kabur dan hidup terpisah dari sistem. Kisah tamat.
Uh, Amara merenggut rambut frustrasi. Pak Sut bahkan tidak memberikan dia kesempatan untuk menyelesaikan cerita sesuai versinya sendiri. Sikap otoriter lelaki itu mengingatkan Amara pada Levi. Sementara itu,, Obeida mulai merengek ingin menyusu dan menambah tekanan dalam diri Amara. Dia masih belum ingin menyerah. Maka, sambil rebahan menyusui Obeida, Amara melanjutkan obrolan lewat gawai, meskipun rasanya tidak nyaman karena tidak bisa mengetik leluasa dengan dua jempol.
Saya punya premis lain kalau boleh, Pak.
Silakan.
‘Dokter muda bernama Jen ingin mencari pasangan sempurna yang memiliki karakter ENTJ seperti dirinya, tetapi dia malah tertarik pada Fin, mahasiswa arsitektur yang memiliki karakter INFP dan amat bertolak belakang darinya.’ Pada dasarnya, Amara berbicara tentang dirinya sendiri dan Levi. Dia terpaksa karena tidak terpikirkan premis lain. Premis-premis andalannya sudah ditepis semua oleh argumen Pak Sut yang mangkus dan sangkil.
Saya tebak, Jen ini perempuan, Fin laki-laki, ya? Pak Sut sepertinya mulai menghafal pola karakter yang dibuat oleh Amara–perempuan lebih dulu.
Betul, Pak.
Kampus mereka berdekatan sampai mereka bisa bertemu?
Enggak, Pak. Mereka bertemu di rumah Jen. Jen dan Fin adalah sepupu jauh. Ibu mereka saling mengunjungi.
Lalu?
Amara mengerjap ketika menerima balasan Pak Sut yang seolah penasaran.
Kita baru bicara premis, ‘kan, Pak?
Saya mau tahu kelanjutan sinopsisnya.
Amara nyaris terlonjak, tapi dia lantas memekik kesakitan karena mulut Obeida masih melekat di dadanya walaupun bayi itu telah pulas. Dengan hati-hati, Amara melepaskan gigitan putranya, lalu duduk tegak untuk mengetik dengan bebas. Dia kembali memanggil laptop yang jatuh dalam mode tidur. Sepuluh jemarinya bergerak dengan cepat.
Jadi, Jen kemudian merasa tertantang untuk menaklukkan hati Fin yang dingin. Dia mulai mencari tahu dan belajar hal-hal favorit Fin. Dia bahkan mencoba masuk ke dalam pergaulan kampus Fin, hingga menemukan fakta bahwa Fin sebetulnya naksir adik tingkatnya yang menarik, tapi sudah punya gebetan teman satu angkatan Fin. Jen pun menjalin pertemanan dengan sahabat dekat Fin di kampus serta kakak perempuan Fin untuk mengikuti kehidupan cowok itu.
Agresif sekali Jen ini.