Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #19

Kontroversi

Ada sebab, ada akibat. Keputusan Amara untuk kembali menulis sudah bulat, tapi ternyata ada konsekuensi berat yang harus dia terima. Obeida jatuh sakit. Amara tidak tahu apa yang salah, bayinya seringkali muntah mendadak tanpa sebab, padahal kelihatannya normal dan tidak bermasalah. Obeida juga tidak demam atau mengalami kolik perut. Tubuh bayinya seolah menolak tiap mililiter ASI yang dikonsumsi. Amara khawatir Obeida semakin kurus dan pucat, meskipun senyumnya masih ceria dan membuat Amara bersalah. Obeida seolah memberi isyarat pada ibunya bahwa dia baik-baik saja, tapi jelas ada sesuatu yang mengancam kesehatan bayi tersebut. 

Lev, Obeida muntah terus, keluh Amara sedih dalam pesan yang dia kirim. Amara tidak tahu apakah Levi akan membacanya dan peduli, tetapi dia telah terbiasa sejak dulu untuk melaporkan setiap keadaan buah hati mereka pada sang suami. Levi harus tahu setiap detail yang terjadi. 

Kamu, kan, dokter. Amara merasa frustrasi ketika Levi membalas pesannya. Tanggapan bernada sinis itu datang di saat tidak tepat. Setidaknya, Levi sedikit berempati pada si kecil, meskipun lelaki itu kini sibuk sendiri dengan dunianya yang terpencil. Keluhan semacam ini baru bagi mereka karena Ursa tidak pernah mengalaminya. Amara menghubungkannya dengan kondisi new normal di masa pandemi, sekaligus polusi asap akibat kebakaran lahan gambut di tempat mereka saban tahun. Mungkin, karena itulah si bungsu jadi lebih mudah sakit.

Semua ASI yang masuk keluar lagi. Badannya juga kurusan. Kasihan sekali Obeida. Besok kita ke Puskesmas, ya? 

Tidak ada balasan lagi, mungkin Levi mengira bahwa Amara cuma menggunakan Obeida untuk menarik perhatiannya. Namun, Amara yakin suaminya tidak akan menolak jika masih punya hati. Sebenci-bencinya Levi terhadap dirinya, suaminya tidak mungkin membenci darah dagingnya sendiri. 

<->

Warning ini, Bu. Berat bayinya hampir menyentuh garis kuning. Pertumbuhannya, kok, lebih lambat, ya, daripada bulan kemarin?” Bidan mengernyit saat mencatat hasil pengukuran putra bungsu Amara pada grafik pertumbuhan. Mata si bidan yang sipit nyaris menghilang di balik kelopak yang dibubuhi dengan perona pucat. 

Tatapannya lantas teralih menilai tubuh mungil Amara dengan jeli. “Bayinya masih menyusu, ‘kan?” Dalam pertanyaan tersebut, Amara menangkap maksud tersirat bahwa mungkin saja si bidan curiga jikalau tubuh mungil Amara yang terkesan kurang gizi tidak cukup untuk memproduksi ASI. Rona kulitnya yang kekuningan dan sering dijuluki kulit vampir pun tampak mengkhawatirkan. Amara sadar bahwa dia sedang diremehkan oleh sang petugas kesehatan. Amara sengaja tidak memberitahukan identitas aslinya hingga tiada seorang pun yang mengenalnya sebagai dokter di tempat ini. 

“ASI eksklusif, kok, Bu. Menyusunya kuat. Pipisnya juga normal. Tapi, belakangan ini dia selalu muntah setiap habis menyusu.”

“Dia sakit?” 

Amara berusaha mengingat. Obeida cuma sempat demam sebentar pascaimunisasi bulan lalu. Namun, tidak sampai muntah berulang kali dalam satu hari. Pasti ada yang terlewatkan. Amara agak waswas tatkala membayangkan Obeida bisa saja mewarisi gen penyakit tersembunyi dari keluarga mereka. Walaupun dia dan Levi masih punya hubungan darah, tetapi rasanya juga janggal karena mereka tidak sedekat itu. Amara pun berusaha menepis segala kemungkinan terburuk. 

“Sakit, sih, enggak, tapi sudah berminggu-minggu polusi asap belum mereda dan bikin sesak napas tiap pagi. Apa gara-gara itu, ya?” 

Sang bidan tidak memungkiri dugaan Amara yang seakan bertanya pada diri sendiri. Akibat pertanyaan si bidan, Amara jadi curiga jika kualitas ASI-nya terpengaruh oleh masalah keluarga yang sedang dia hadapi. Belakangan, Amara kurang memperhatikan kebutuhan nutrisinya sendiri karena tidak nafsu makan dan menghemat uang belanja demi Ursa. Sistem imunnya mungkin saja melemah sehingga pertahanan tubuh Obeida pun jadi lebih rentan. 

Rongga dada Amara menyempit akibat rasa bersalah. Wajahnya muram seakan digelayuti mendung sepulang dari puskesmas. Sepanjang perjalanan, dia mendekap Obeida penuh rasa kasihan. Dia pandang dan ciumi pipi mungil yang kehilangan pesona montoknya itu berkali-kali seakan meminta maaf karena sudah lalai menjaga kesehatan sang buah hati. Amara sedih sekaligus marah pada dirinya sendiri. Diam-diam, Levi mengamati gelagat Amara dan terbawa suasana hingga jengah sendiri.

“Lev, Ursa pernah kena ain waktu kecil. Aku takut, Obeida juga punya masalah yang sama.” 

Dari ekspresi kecut Levi, suaminya seakan tak habis pikir dengan jalan pikiran Amara yang masih percaya pada hal-hal di luar medis. Keluarga Amara masih memegang teguh tradisi dan kepercayaan Banjar, sehingga turut berpengaruh pada pola pikirnya yang tidak biasa. Meskipun seorang dokter, Amara mempertimbangkan semua kemungkinan, tidak terkecuali hal-hal supranatural. 

“Terlalu berlebihan!” tukas Levi. 

“Tapi, ain itu beneran ada, Lev. Makanya, ada doa yang diajarkan Rasulullah untuk melindungi anak-anak dari ain.

“Ya sudah, bacakan saja Obeida doanya,” suruh Levi bingung. 

“Enggak segampang itu. Kalau sudah kena, pengobatannya enggak cukup didoakan saja.”

“Berarti, kemarin-kemarin, kamu enggak mendoakan dia?”

Amara kesal dengan pertanyaan sang suami yang malah terkesan menuduh. Tahu apa Levi dengan kesibukannya di rumah, mengasuh anak sekaligus mengejar tenggat naskah? Amara akui, dia memang kecolongan karena alasan tersebut. Masalahnya adalah bagaimana Obeida bisa terkena ain kalau kecurigaannya memang benar? 

“Lev, kamu ada posting foto-foto Obeida di medsos?”

“Ada. Kenapa?” 

Sudah Amara duga, Levi terlalu sering pamer. Servis mobil, ruang kerja, hangout, hobi, sampai Ursa dan Obeida juga dijadikan maskot oleh suaminya sebagai tanda bahwa Levi adalah lelaki sejati. Namun, Levi tidak sadar kalau kebiasaan flexing-nya itu bisa mengundang bencana. 

Lihat selengkapnya