Konflik di kelas Pak Sut kian meruncing. Masing-masing peserta mulai bicara lantang dan terbagi menjadi dua kelompok. Lebih banyak suara yang kontra daripada membela Pak Sut. Namun, lebih banyak lagi yang diam, termasuk Amara. Dia bisa merasakan kekecewaan Kafka kala berjuang sendirian menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan–Pak Sut pilih-pilih skenario, katanya.
Amara menyesal karena tidak bisa berdiri di pihak Kafka. Jangankan lika-liku grup yang baru dia cemplungi, drama hidupnya saja sudah menghabiskan banyak energi, sementara dia butuh banyak usaha untuk menyeimbangkan antara mengasuh anak sambil menulis.
Meskipun bersikap cuek bebek, Amara menuruti rekomendasi seseorang di grup untuk mencoba seleksi kelas skenario yang diadakan oleh satu lembaga pemerintah. Iseng saja, Amara justru mengirimkan sinopis yang dia godok di kelas Pak Sut. Andaikan terpilih, Amara dapat mematangkan sinopsis miliknya di acara tersebut. Impian-impian Amara bersinar bagai berjalan di atas karpet merah tatkala menyaksikan prospek cerah para finalis yang sinopsisnya dipinang oleh rumah-rumah produksi. Dia juga akan punya kesempatan seperti mereka jika lolos ke tahap inkubasi.
Keisengannya ternyata berujung serius. Amara terpilih di antara lima puluh peserta dari Banjarmasin. Seketika situasinya menjadi rumit. Amara harus meninggalkan anak-anaknya untuk menghadiri pelatihan luring selama dua hari. Bagaimana nasib Ursa dan Obeida?
“Cuma dua hari, Lev. Ursa enggak ada yang mengurus dan antar jemput sekolah. Aku juga enggak mau nyusahin Adisty dan Arsilla. Tolong kamu jaga Ursa, ya?”
Suaminya terdengar terkejut ketika dihubungi. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup bagi Amara, maka dia terpaksa meminta bantuan Levi. Hanya saja, Amara mengkhawatirkan sesuatu kendati Levi kemudian bersedia.
“Lev, jangan titipin Ursa ke orang lain, apalagi Chika, ya? Tolong kamu jaga Ursa sendiri.” Amara memohon. Tanpa disangka, Levi hanya bergumam pendek mengiakan. Kali ini Amara berharap bahwa dia takkan salah menaruh kepercayaan.
Momen paling berat bagi Amara adalah meninggalkan Obeida bersama orang lain untuk pertama kalinya. Anggap saja ini latihan. Amara ingin mengetahui sejauh mana dia sanggup melepaskan Obeida dari tangannya. Ketika mengetahui dia lolos program bergengsi dari pemerintah, sang nenek pun menyetujui permintaan tersebut.
Amara sudah menyiapkan ASI cadangan di kulkas dan baju ganti secukupnya. Tatkala berpamitan, Obeida tampak bingung karena sang ibu tidak menggendong dan hanya mengusap kepalanya seraya berbicara dengan sedih. Dia malah diangkat oleh sang nenek yang kemudian mengajaknya untuk melambaikan tangan sambil mengantar perempuan itu pergi dengan sepeda motor.
Saat itu, Amara merasa tidak senang melakukannya. Hatinya berkata bahwa dia tidak cocok menjalani kehidupan wanita karier, sementara pikirannya melayang pada bayi kecil yang menunggu di rumah. Rasa bersalah yang dia rasakan mungkin tidak wajar, tetapi itulah naluri seorang ibu. Amara tidak tahu kenapa Ibu, Adisty, dan Arsilla mampu menjalani fase bekerja jauh dari rumah dengan tenang.
<->
Sejak Amara menginjak lobi hotel penyelenggara di pusat kota dan bertemu dengan para peserta lain, Amara menyadari bahwa dia berasal dari generasi berbeda. Dan anehnya, cuma sedikit peserta yang berstatus penulis platform seperti dirinya. Ketika berkenalan dengan perempuan cantik yang sebaya dengannya, Amara terkejut karena dia sedang berhadapan dengan seorang penulis populer di platform yang banyak mengangkat kisah bertema pernikahan dan drama rumah tangga. Amara jadi sedikit tidak percaya diri ketika iseng-iseng menanyakan isi sinopsis penulis tersebut. Dia membandingkannya dengan kisah miliknya yang jadi terasa klise. Tema perselingkuhan yang diangkat oleh sang kenalan baru lebih terasa berkelas. Amara merutuk andai saja dia boleh berubah pikiran untuk mengajukan sinopis yang berbeda.
Baru sekali ini pula Amara mengikuti acara resmi pemerintah. Suasananya terasa berbeda karena jauh lebih santai daripada seminar-seminar kedokteran yang pernah dia hadiri. Upacara penyambutan berlangsung semarak dan diakhiri dengan tarian selamat datang khas Banjar yang disebut Baksa Kembang. Setelah sambutan dari pihak penyelenggara dan seorang mentor perempuan berpenampilan trendi yang Amara taksir berusia matang, ritme acara mulai berjalan cepat. Amara tidak menyangka jika sang mentor akan langsung meminta mereka untuk praktik mengikuti format yang sudah dibuat.
Amara berusaha agar tidak ketinggalan. Mata dan telinganya bekerja untuk menangkap penjelasan sang mentor, sedangkan jemarinya terus mengetik di laptop. Sambil memberikan referensi film yang dijadikan contoh format, sang mentor juga sesekali menunjuk para peserta untuk mengembangkan logline dari premis yang mereka punya. Di sinilah tantangannya. Sang mentor selalu tidak puas karena para peserta kesulitan membuat karakter yang kuat.