Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #21

Fantasi

Sejak Amara mendekati ruang pertemuan, perempuan itu merasakan intensitas tatapan yang tidak biasa. Asalnya dari meja panitia yang berada di depan pintu. Amara pun menunduk seraya berjalan cepat tanpa niat mencari tahu. Intuisinya memerintahkan untuk menghindar jauh dari masalah apa pun yang mungkin terjadi di hari terakhir. Timbul sedikit rasa takut ketika Amara menyadari intensitas tatapan tersebut lantas beralih ke punggungnya. Seseorang jelas sedang mengawasi.

Sang mentor hadir tak lama setelahnya. Para peserta mulai berhamburan masuk. Sengaja Amara memilih barisan kursi paling depan untuk menjauhkan dirinya dari sumber gangguan yang berada di belakang. Namun, setelah beberapa saat acara berlangsung, Amara pun sadar bahwa usahanya sia-sia belaka lantaran si penguntit terlihat mondar-mandir ke sisi panggung untuk mendokumentasikan acara. Amara melengos ketika tatapan mereka tidak sengaja bertemu satu kali. Dia pun sedikit kesal karena terusik oleh sorot mata misterius yang ditujukan oleh orang tersebut. 

Amara berusaha kembali fokus. Sang mentor memulai rutinitas seperti hari sebelumnya. Kali ini, mereka membahas sebagian sinopsis yang telah direvisi oleh para peserta. Amara harus bersabar. Besar kemungkinan dia kembali tidak terpilih karena kebanyakan peserta yang beruntung berasal dari kaum Adam. 

“Kak, kamu yang pakai kerudung putih, coba bacakan logline kamu. Yang lain, simak baik-baik, ya. Seperti biasa, teman-teman nanti boleh bantai sinopsis kakak ini beramai-ramai!” 

Saat kesempatan itu benar-benar datang, Amara justru terpaku. Tanpa sadar, dia sudah berdiri lantas menerima mikrofon dari tangan sang mentor. Kelas hampir tuntas, energi dan semangat para peserta pun hampir tandas. Amara tidak yakin mereka semua tertarik untuk mendengar sinopis terakhir darinya, tetapi suara lantangnya kemudian bergaung di aula yang tidak terlalu luas. Tak sedikit yang merasa terganggu lantas menelengkan kepala mencari sumber penyebabnya.

“Istri, 37 tahun, visioner dan posesif, berusaha melindungi suaminya dari pesona gadis 19 tahun yang manipulatif. Dia merekrut pemuda 20 tahun yang oportunis untuk menjauhkan si gadis dari suaminya. Ketika gadis itu terbunuh secara misterius di rumah suaminya, si istri malah dituduh sebagai pelaku. Si istri berjuang membebaskan diri dari segala tuduhan sekaligus merebut kembali cinta suaminya.”

Suasana hening menghadirkan sensasi deja vu dalam diri Amara bagai momen di kelas Pak Sut dulu. Keheningan yang terasa menipu karena momen setelahnya menjadi chaos. Para peserta berebut ingin mengomentari logline yang sudah Amara racik dengan susah payah. Amara pun kembali duduk karena staminanya sudah terkuras. Malam tadi, dia tidak menggunakan waktu untuk istirahat dengan cukup. Amara terbangun menyusui Obeida hingga lewat tengah malam, ketiduran, lalu terbangun lagi di waktu subuh, sementara benaknya dipenuhi oleh perihal revisi sinopsis. Dia mengabaikan rasa lelah di pagi hari yang terbawa hingga kelas berlangsung. 

“Kenapa si istri mau-maunya mempertahankan suami yang pengkhianat, Kak?” Amara membaca emosi di wajah si novelis platform yang sempat bertukar pikiran dengannya kemarin. Para peserta lain pun memasang kuping saksama.

“Si istri adalah seorang visioner. Dalam mimpinya, dia melihat bahwa masa depannya akan bahagia. Dia akan bersatu kembali dengan suaminya dan mereka bakal punya seorang anak.”

“Yakin, si istri enggak mengigau?” gurau sang mentor. “Jadi, kenapa kamu bikin karakternya visioner? Apa fungsinya untuk menghadapi antagonis? Atau cuma bikin dia bucin sama suami?” Amara terus dicecar. Para peserta tertawa, begitu pula Amara, tetapi obrolan mengalir ringan dan mengembuskan kesegaran. 

“Antara protagonis dan suami, sebenarnya mereka sudah punya masalah rumit lantaran belum punya anak di usia segitu. Saat antagonis tiba-tiba muncul, si istri dapat firasat kalau antagonis mengiming-imingi untuk memberi suaminya anak sehingga suaminya jatuh dalam rayuan.” 

“Jadi, apa sebenarnya tujuan atau benda yang benar-benar diinginkan oleh protagonis menurut kalian?” Alih-alih menyasar jawaban Amara, sang mentor malah bertanya kepada seluruh peserta.

“Harta warisan!” Salah seorang menduga dengan yakin. 

“Saham kepemilikan.”

“Properti.”

“Rumah.” 

Sang mentor terus menunjuk peserta lain, tetapi dari ekspresinya yang berkerut, sepertinya perempuan itu belum menemukan jawaban menarik. 

“Coba, deh, kakak yang bikin sinopsis. Apa, Kak?” 

Amara gelagapan karena pertanyaan tadi dikembalikan kepadanya. Jawaban yang terlintas di kepalanya terasa amat personal, maka Amara mengutarakannya dengan malu-malu. 

“Aset pribadi.”

“Sama, dong, kayak jawaban lain.”

“Bukan, Kak. Maksud saya, bagian dari diri suaminya. Itu termasuk kategori ‘benda’ juga, ‘kan?”

“Hah? Maksudnya? Kakak enggak usah berputar-putar dan bikin kita semua bingung.”

“Bibir, Kak.” 

Amara bahkan mengulangi sekali lagi untuk meyakinkan sang mentor bahwa mereka semua tidak salah dengar. Dengung tawa pecah dari segenap penjuru. Suasana riuh, hingga sang mentor menaruh jari di atas bibir agar semua peserta tenang. 

“Yuk, kita dengar dulu alasannya. Silakan, Kak.” Perempuan itu berusaha menahan tawa dengan gelagat lucu. 

Amara bagai sedang menerjemahkan kode terlarang yang seharusnya tidak dia sebar ke seluruh dunia. Namun, sang mentor mengharapkan sebuah kisah, bukan? Dia punya satu.

Bulan itu, Levi baru mengetuk pintu satu kali. Suaminya beralasan sibuk ada proyek di sana sini. Amara sudah rindu. Ursa pun tidak sabar lantas berayun di punggung ayahnya. Namun, Levi menurunkan bocah itu tanpa minat. Amara prihatin melihat kondisi Levi yang seperti mulai tidak sanggup mengimbangi padatnya aktivitas. 

Lihat selengkapnya