Gimana, Luc? Sudah pas belum sama temanya? Aku bikin naskah ini sesuai prompt yang kamu minta, loh. Settting tempat hanya makan satu ruangan dan butuh sedikit pemain. Amara baru saja mengirimkan sebuah cerita pendek kepada rekan kolaborasinya. Luca mengajukan gagasan untuk membuat skenario berbiaya produksi rendah. Agar lebih mudah dijual, katanya. Semalam suntuk Amara berusaha mengeksekusi ide tersebut menjadi naskah yang menurutnya rumit. Tingkat kesulitan yang dia temui jelas berbeda dari naskah-naskah yang biasa dia tulis sebelumnya. Dia tidak sedang menulis sebuah karya berkualitas sastra tinggi, tetapi karya yang mengusung ide segar dan unik. Ide itu jelas tidak turun dari langit. Amara harus menyaring idenya berkali-kali agar tidak terkesan klise dan Amara harus melakukannya karena target mereka kali ini adalah mengirimkan naskah tersebut ke lomba yang diadakan oleh penerbit mayor. Amara selalu gagal menerbitkan karyanya di penerbit mayor. Dia berharap, keberadaan Luca sebagai tim dapat mengubah nasib karena Luca adalah sarjana perfilman, punya ilmu dan jejaring sosial yang luas.
Sambil menunggu sinyal hijau dari Luca, Amara meneruskan kegiatannya menulis novel untuk dikirim ke lomba di sebuah platform besar yang terkenal menelurkan banyak penulis pemula. Ini adalah pengalaman pertama bagi Amara menjajaki platform tersebut. Mereka mensyaratkan tema yang terjangkau oleh Amara, tetapi ada masalah khusus. Genre yang diusung bukan zona nyaman bagi Amara. Dia seakan sedang menyalahi prinsip yang sebelumnya dia pegang teguh untuk tidak mengumbar kisah berbau gibah.
“Weee!”
Jantung Amara berdegup kencang. Saat sedang larut menulis, Obeida berteriak nyaring. Tak urung, Amara merasa kesal karena bayi itu baru saja dia susui. Namun, Obeida malah terbangun karena tidak dipeluk oleh sang ibu. Sambil menahan dongkol, Amara terpaksa kembali rebahan dan mengeloni bayinya. Gerak-geriknya dilakukan secara otomatis karena di saat yang sama, jemari Amara sibuk mengetuk layar gawai. Lagi-lagi, Amara terpaksa melanjutkan tulisannya di sana. Amara tidak punya pilihan karena tenggat pengiriman naskah tinggal seminggu, sementara bab yang dia tulis belum mencapai target minimal lomba.
Selain itu, dia punya masalah lain yang belum diselesaikan.
Pesan masuk dari Luca menyela aktivitasnya. Sudah oke, sih, ini. Jawaban Luca melonggarkan sedikit bebannya.
Bungkus aja, Luc. Agar cepat kelar dan kita juga lega, desak Amara.
Oke, aku unggah sekarang.
Menerima Luca sebagai rekan kolaborasi ternyata keputusan tepat. Amara tidak perlu repot-repot mengurusi unggahan dan persyaratan lomba lain karena Luca yang akan membereskan. Mereka sudah sepakat dengan pengaturan tugas tersebut.
Pesan masuk berbunyi kembali. Amara langsung membalas tanpa melihat siapa pengirimnya. Sudah? Cepat amat, ujarnya heran.
Apanya yang sudah?
Astaga. Amara terkejut karena pesan itu ternyata berasal dari Levi.
Sorry, Lev. Tadi aku mengobrol sama temanku.
Gebetan kamu?
Praduga tersebut membuat Amara kesal sekaligus kecewa. Levi malah menuduhnya atas perbuatan yang suaminya lakukan sendiri. Ketidaksetiaan Levi adalah pukulan terbesar yang harus Amara terima sebagai konsekuensi pilihannya dulu. Namun, alih-alih mengomel, dia lantas menunjukkan profil Luca pada Levi.
Coba lihat ini, Lev.
Kenapa kamu malah kasih aku foto laki-laki?
Itu namanya portofolio, Lev.
Sama saja. Ada fotonya.
Aku bermaksud mengenalkan teman satu grupku untuk menghormati kamu. Dia sesama alumni di kelas skenario, anak luar daerah. Sekarang, kami berdua sedang merintis jalan buat cari cuan dari jualan karya.
Amara berusaha memberikan penjelasan sesingkat dan sejelas mungkin pada suaminya. Luca bukanlah lawan, apalagi ancaman, tetapi kawan seperjuangan. Sejatinya, Levi adalah pribadi yang pencemburu. Sekilas, kecemburuan itu tidak beralasan seiring memudarnya perasaan Levi terhadapnya. Namun, Amara berjaga-jaga saja andai sisi destruktif Levi muncul setiap saat. Amara tergerak untuk menghindari masalah. Levi harus tahu dengan siapa dia bergaul dan tujuan apa yang ingin dia capai dalam hidup. Amara tidak ingin lagi ada jurang komunikasi antara mereka berdua, bahkan ruang kosong yang berpotensi diisi oleh orang lain.
Amara menuntut persetujuan Levi. Boleh, kan, Lev? Jangan bilang kamu tidak peduli. Kepada siapa lagi aku meminta izin selain pada suamiku?
Levi sepertinya marah. Sudah kamu lakukan, buat apa lagi minta izin?
Amara pun menerima kemarahan tersebut dan berusaha meredamnya. Saking sibuknya, aku sampai lupa kasih tahu, Lev. Yang penting, aku tidak menutupi apa-apa, kan? Kamu boleh memeriksa semua pesanku agar kamu percaya.
Amara menjadi gugup tatkala tidak ada tanda-tanda balasan dari Levi. Suaminya sedang daring, tetapi hanya mendiamkannya.
Lev, aku enggak pernah minta macam-macam sama kamu. Tapi, sekarang kondisiku tertahan di rumah. Aku enggak bisa bergaul di luar, makanya lingkaran pertemananku cuma ada di medsos. Tapi, aku bisa menjamin enggak bakal melenceng dari tujuan. Kami punya hubungan kerja profesional, Lev. Kami bahkan tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadi masing-masing, jadi mustahil kalau kami macam-macam.
Iya, aku tahu, jawab Levi mengejutkan Amara. Karena itulah, aku masih mempertahankan kamu. Kamu enggak banyak menuntut. Amara nyaris tidak percaya mengetahui pengakuan Levi. Tapi, aku enggak suka kalau kamu sampai lupa diri kayak kemarin dan mengabaikan aku.
Selama kamu enggak kesal karena aku lebih sibuk mengurus Ursa dan Obeida dibanding kamu, aku enggak keberatan. Apalagi kalau mau bantu aku mengurus mereka dan tinggal sama kami di sini, aku bakal senang banget.