Bagi Amara, mencari definisi kebahagiaan sesulit bertahan di arena kompetisi berdarah. Terlahir dalam keluarga biasa-biasa saja tidak lantas menjadikan jalannya mudah. Sebaliknya, halangan yang dia hadapi nyaris membuatnya menyerah. Amara harus bersaing dengan saudari-saudari yang berambisi menguasai keluarga. Seringkali, demi mereka dia mengalah. Juga terhadap orang tua yang ingin melihat dirinya tumbuh sebagai putri salihah bermasa depan cerah. Semakin tinggi harapan digantungkan kepadanya, semakin erat jerat yang mengikat hidupnya. Namun, sesal tiada guna akibat mengubur mimpinya di masa lalu. Membangkitkannya hanya akan menggali rasa sakit.
Termasuk memenangkan hati Levi. Kehidupan setelah menikah ternyata jauh lebih sulit. Seringkali, Amara merasa kehabisan energi dan jalan buntu mengadangnya sewaktu-waktu. Hingga Amara sampai pada titik kesimpulan bahwa pernikahan bukan standar yang tepat untuk mengukur kebahagiaan. Hidup terkadang tidak bulat sempurna, apalagi jika berurusan dengan hati manusia yang berbenjol-benjol. Sedari awal, dia memang keliru. Terburu-buru bertaruh tanpa berpikir panjang tentang masa depan. Semua demi kebahagiaan yang gagal dia temukan dari keluarganya.
Amara pun memutuskan, jangan sampai dia menciptakan kesalahan yang sama terhadap dirinya sendiri. Amara memutuskan mundur sejenak dan tenggelam dalam dunianya yang hilang untuk mengobati rasa kecewa. Orang-orang bilang, dia dianugerahi bakat cemerlang. Amara bahkan sempat menertawakannya. Setengah mati dia berjuang menjadi wanita karier seperti harapan orang tuanya, tetapi akhirnya Amara lebih memilih panggilan jiwa. Setelah menjadi ibu rumah tangga, menulis adalah satu-satunya hal yang dia kuasai untuk menjadi dirinya sendiri. Menciptakan banyak versi kebahagiaan yang gagal dia capai dalam hidup.
Amara punya banyak cerita untuk dituangkan dalam semesta kisah. Amara juga menemukan kepuasan tersendiri dari karakter-karakter kekasih yang dia reka. Sederhana saja, buat tokoh yang berkebalikan dengan Levi. Jika suaminya gemar meraup kebahagiaan untuk disimpan sendiri, maka sang kekasih akan bersikap altruis dan murah hati. Sang kekasih tidak akan meninggalkan protagonis demi karakter lain. Sang kekasih ibarat rumah yang teduh didiami. Musik yang mengalun di latar, kegaduhan di sekitar, tiada yang mampu memalingkan sang kekasih dari protagonis.
Maka, ketika seorang pembaca mengajukan protes bahwa karakter ciptaan Amara kurang manusiawi dan lebih mirip model sampul yang palsu, saat itulah Amara sadar bahwa angan-angannya sudah tertipu. Amara rancu antara memisahkan harapan dan kenyataan. Namun, siapa peduli jikalau dia menulisnya dengan hati gembira?
Hingga suatu hari, Amara sadar bahwa penilaian terhadap dirinya sendiri terlalu rendah. Sebuah kabar mengejutkan hadir menepis keraguan Amara sejauh ini.
Selamat, Amara. Novelmu lolos tiga besar.
Lily yang mengucapkan selamat pertama kali, lalu Kafka menyusul kemudian. Dua sahabat pena membawa kabar tersebut selagi Amara berusaha mencerna situasi. Sambil berusaha mengatur napasnya yang mendadak cepat, Amara bolak-balik menggulir obrolan grup nyaris tidak percaya. Bunyi notifikasi masuk bertubi-tubi. Di sana sedang terjadi kegemparan karena bintang baru telah lahir di tengah mereka.
Amara tersenyum. Siapa sangka, masa-masa Levi mendorongnya ke titik paling rendah ternyata berhasil menginspirasinya untuk menciptakan sebuah plot dramatis, lantas mengantarkannya pada puncak kompetisi menulis bergengsi. Amara seolah merasakan harapan mengalir deras dalam nadinya. Dia dibekali oleh segudang amunisi yang cukup hingga satu dekade lagi. Masih panjang daftar kompetisi yang bisa dia ikuti. Meskipun pada akhirnya harus berhenti, Amara mensyukuri anugerah yang dia miliki tapi tak mampu dia nikmati selamanya.
Lily:
Hebat, Mar. Kamu yang pertama di antara kita lolos ke penerbit berbayar.
Kafka:
Injak kakiku, dong. Bagi-bagi keberuntungan kamu biar nempel ke aku juga.
Ibarat candu, ucapan selamat dari Kafka dan Lily tidak pernah terasa bosan. Berkat mereka, hasrat Amara untuk terus menggeluti dunia literasi senantiasa berkobar. Apresiasi keduanya pun senilai pengakuan seluruh dunia. Karena bagi Amara, dunia barunya takkan lengkap tanpa Kafka dan Lily.
Andai mereka tahu isi hati Amara saat ini, entah bagaimana reaksi keduanya. Amara masih menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkannya.
Amara:
Terima kasih, Bestie. Semua berkat dukungan kalian. Aku juga banyak belajar sama kalian. Keberuntunganku saja karena kalian tidak ikut.
Kafka:
Bikin emosi, tahu, baca komentar kayak gini. Aku juga kepingiiin.
Lily:
Kita ikutan juga, lah, kalau tahun depan ada lomba lagi, Ka.
Amara:
Aku yakin kalian bisa, kok. Kafka. Lily.
Lily:
Hufff 🤧.