Heathrow International Airport, London, UK
Kita tidak akan pernah tahu seberapa jauh kaki akan melangkah menaklukan masa depan, jika kita tidak berani memutuskan untuk memulai langkah itu. Banyak kota yang sudah aku datangi, banyak cerita, banyak kenangan. Kali ini, takdir hidup membawaku ke kota yang aku kenal dari sebuah lagu di masa kecil. London bridge is falling down, falling down, falling down, London bridge is falling down, my fair lady. Aku akan menghabiskan waktu cukup lama di sini, bukan untuk bekerja ataupun sekolah. Aku di sini untuk membantu sahabatku Manda menyelesaikan philosophiae doctor (Ph.D)[1]. Aku juga berharap kedatanganku ke sini akan menjadi babak hidup baru yang indah untuk dilalui. Aku terlalu lelah dengan banyak babak hidup sebelum ini yang menuntutku untuk terus berlari kencang. Aku ingin babak-babak yang pahit itu segera tuntas dan aku bisa sejenak beristirahat.
“Widuri Elok Rembulan?! Ini kamu? Kamu banyak berubah ternyata ya!” Manda berteriak dari jauh menyambutku. Ia mendekat dan langsung memelukku. Tampaknya dia begitu bahagia karena akhirnya kami bisa bertemu lagi setelah bertahun-tahun kehilangan kontak.
“Alamanda Praghiya! Mahasiswa kesayangan Prof Sudarsono? Benar kan?” aku membalas sapanya.
“Baiklah, putri sematawayang Prof Dar, selamat datang di United Kingdom!” kami kembali berpelukan. Manda adalah mahasiswa kesayangan almarhum ayahku, kami dulu bersahabat seperti kakak dan adik. Meskipun aku menyelesaikan studi kedokteran di Bandung dan dia di Yogyakarta. Manda sudah seperti kakak untukku saat itu.
Kami melangkah penuh tawa meninggalkan bandara. Bernostalgia dengan cerita-cerita masa lalu. Aku telah memutuskan untuk menyudahi pelarianku dengan mulai membuka diri tentang seperti apa keadaanku hari ini. Aku seringkali berpikir, apa memang aku ditakdirkan menjadi orang yang dipaksa keadaan untuk menghilang atau memang aku yang menginginkan pergi jauh dari orang-orang yang menemaniku di masa lalu? Sampai akhirnya kini Manda menemukanku dan mengajakku ke sini. Apakah ini adalah perjalanan pelarian ke sekian ku, atau mungkin ini adalah perjalanan pertama hidupku yang sesungguhnya? Sisa waktu mungkin yang akan menjawabnya. Tapi keputusan ini setidaknya membuatku lebih semangat menjalani hidup.
“Aku terimakasih banget sama dokter Ihsan. Dia membantu aku menemukanmu Wid! Sudahlah Dokter Widuri, kamu pantas bahagia dengan melupakan masa lalu dengan Ihsan.” Manda menatapku dengan tatapan yang sangat to the point.
“Ihsan memang selalu tahu aku ada di mana. Dia membuat pelarianku menjadi pelarian yang tidak sempurna!” aku tersenyum kecil, sedangkan Manda menatapku serius.
“Kamu sudah melupakan dia kan Wid?”
“…”
***
Beberapa hari atau (mungkin) beberapa bulan ke depan, aku akan tinggal bersama Manda dan keluarganya. Suami Manda seorang diplomat di kedutaan besar Indonesia untuk Inggris. Dia beruntung, kehidupannya mungkin nyaris sempurna. Menjadi seorang perempuan yang utuh. Berbeda denganku yang jauh berbeda, dan bodohnya aku adalah karena aku terjebak dalam ketidakmauanku mengubah nasib. Aku yang terlalu mengikuti alur yang dibuat manusia. Mengikuti keinginan semua orang, tapi mengabaikan keinginanku sendiri.
Sedari kecil aku terbiasa dengan aturan dan daftar keinginan kedua orangtuaku. Bukan daftar keinginanku, meskipun aku anak tunggal. Aku pikir menjadi anak tunggal itu menyenangkan, karena akan dengan mudahnya mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi, aku salah. Ternyata tidak semudah itu. Mungkin karena aku terlahir dari keluarga yang terlalu terdidik. Ayah dan Ibuku pasangan profesor terkenal di kampus tempat mereka mengabdi. Mereka memiliki standar kehidupan yang sangat tinggi dengan aturan yang super ketat. Itu yang membuat aku terjebak dalam ambisi mereka. Ambisi yang tak akan pernah selesai. Ambisi yang membuatku kehilangan hidup. Meskipun aku sempat mengalami indahnya kehidupan di masa-masa SMA, berkawan dengan seseorang yang tak sama dengan teman yang lain. Banyak teman yang mendekatiku karena aku pintar, karena aku baik dan polos, sehingga mereka bisa meminta jawaban ujianku untuk membantu nilai mereka. Mereka semua memiliki “maksud” saat mendekatiku, tapi tidak dengan satu orang kawan yang sampai hari ini pun masih sangat berkesan di hatiku.
***