Sikap Manda yang tidak terplanning ini tiba-tiba mengingatkanku pada Adit. Sahabat laki-laki pertamaku dan mungkin satu-satunya. Dia adalah manusia dengan sejuta rencana dadakan. Tidak ada yang namanya agenda dan rencana dalam hidupnya. Aku beruntung satu kelas dengan Adit selama dua tahun. Dia terjebak di kelas IPA bukan karena nilainya, tapi karena keinginan bundanya. Mereka sangat mengharapkan Adit bisa menjadi seorang engineer di masa depan yang merupakan ebanggan orangtua untuk anak laki-lakinya. Namun, Adit sama sekali tidak menyukai pelajaran IPA dan matematika. Dia harus menjalani dua tahun di kelas IPA agar menjadi contoh untuk adiknya kelak. Karena bagi bundanya keberhasilan anak kedua, ketiga dan seterusnya tergantung pada keberhasilan anak sulungnya. Adit terpaksa memanggul beban sosial itu demi adik-adiknya. Karena memang keluarganya bukan berasal dari keluarga yang berada. Jadi wajar jika orangtuanya berharap kelak dia bisa membantu biaya sekolah adik-adiknya.
“Udah sampe ?!” Manda terbangun dari tidur singkatnya. Aku tersentak dari lamunannku. Tampak Manda segera menelpon saudaranya yang tertinggal di Bandara. Dari kejauhan sudah tampak bangunan bandara yang megah, Indonesia tidak ada apa-apanya.
Kembali aku salami lamunan yang belum tuntas. Entah mengapa bayang-bayang Adit mendadak menghantuiku. Tiba-tiba teringat saat dulu aku melakukan perjalanan pertama dengan Adit. Dia dengan rencana dadakannya membawaku melihat bintang-bintang yang tertanam di Bumi. Untuk pertama kalinya aku berbohong pada Ayah dan Ibu. Aku memutuskan mengikuti rencana dadakan Adit sepulang sekolah. Motornya membawaku menelusuri jalan berkelok Gunung Kidul. Ia menunjukkan padaku bahwa kami beruntung tinggal di daerah yang alamnya begitu indah. Alam yang jarang aku jamah dari kecil. Karena Ayah dan Ibu selalu sibuk, jikapun ada waktu untuk family time, ayah merasa lebih bangga jika bisa membawa kami ke luar negeri.
Adit memiliki kebiasaan suka ke kamar mandi. Entah untuk buang air kecil, buang air besar, atau hanya sekadar membasahi rambut dan wajahnya. Hampir di setiap pom bensin yang kami lalui ia berhenti dan meminta aku menunggu. Memang dia adalah kawan yang unik, ada sisi lain yang mungkin orang lain tidak mengetahuinya. Tapi kini aku mengetahui, memahami, dan memakluminya. Adit adalah siswa populer. Setelah aku dekat dengannya banyak teman-teman perempuan yang mendatangiku dan menanyakan, ‘mengapa belakangan aku terlihat sering jalan dengan Adit?’ atau ada yang langsung menuduh kami berpacaran. Dari banyak kejadian itu akhirnya aku sadar, ternyata Adit yang kini menjadi sahabatku adalah lelaki pujaan para perempuan. Ada karisma yang ia miliki untuk memikat para gadis, apalagi bermodal mulut yang jago memaniskan keadaan—mutlak banyak yang akan jatuh hati padanya. Tapi aslinya? Aslinya Adit tidak begitu. Dia adalah laki-laki baik yang bertanggung jawab.
“Akhirnya sampai juga! Keluarga calon iparku nelpon barusan, mereka udah lumayan lama nunggu ternyata. Duh, aku jadi nggak enak!” Manda mengacaukan kembali lamunanku, lamunan yang aku sembunyikan belasan tahun lamanya.
“Manda, lain kali kamu harus cek dengan baik deh timeline kegiatanmu. Oh ya, kamu janji sama aku buat cerita loh! Sebenarnya ada apa? Mau ada acara apa?” tanyaku sambil mengikuti Manda yang berjalan menuju area penjemputan.
“Oke, gini Wid! Kita kan udah planning ya rencana kita dari dua bulan lalu. Aku udah urus tiket kamu dan lain-lainnya. Karena memang tim penelitianku butuh kamu dalam minggu ini. Tapi, sebulan yang lalu, adik laki-lakiku ngabarin kalau dia mau menikah di sini. Gila nggak dia?” ujar Manda dengan wajah kesal.
“Sebentar, adikmu yang baru terima sekolah di UK juga?”
“Iya, dia baru diterima untuk studi Ph.D nya di sini, tapi di Scotland sana. Nah, dia kan merasa usianya sudah cukup waktu menikah, kalau menunggu lulus Ph.D dia nggak yakin. Katanya terlalu lama! Apalagi kebetulan calonnya satu universitas sama dia.” jelas Manda.
“Oooh begitu, calonnya orang Indonesia?”
“Iya, teman beasiswa waktu ambil program master dulu di sini. Aku kenal baik calonnya. Dia juga lagi ambil Ph.D di Scotland. Buru-buru sih mereka ini, tapi ya aku mau gimana lagi Wid? Mereka soalnya sekitar dua tahun lalu hampir menikah, tapi batal karena sesuatu yang panjang kalau aku ceritain sekarang!” ujar Manda mulai mencari di mana keluarga calon iparnya menunggu.
***
Bandara sangat ramai di sore hari. Hiruk pikuknya membuatku memutuskan untuk menunggu saja di sebuah coffee shop dekat pintu kedatangan. Manda jalan sendiri menjemput keluarga calon istri adiknya itu. Aku merasa hari ini hidupku benar-benar lepas. Merasa kembali menjadi Widuri seperti belasan tahun yang lalu. Aku benar-benar menikmati akhir pelarianku ini. Usia yang tentu tidak layak lagi hidup dalam pelarian. Benar kata Manda, aku berhak bahagia!
Dari kejauahan aku melihat Manda dengan dua orang laki-laki dan satu anak kecil, sepertinya anak perempuan. Aku segera bersiap mengambil cup es kopi yang sudah habis setengah dan berjalan menuju mereka. Dari kejauhan salah satu dari mereka menuju ke rest room. Aku terus melangkah menuju yang lain. Manda melambaikan tangannya memintaku mendekat.
“Wid, perkenalkan ini calon keluargaku nanti!” Manda mencolek laki-laki berambut klimis yang memakai syal dan jaket. Ia membalikkan badan dan mengulurkan tangannya padaku.
Aku tersentak. Sepertinya wajah laki-laki ini tidak asing.
“Sebentar, ini Mbak Widuri?” tanyanya membenarkan asumsiku.