“Persahabatan kami terus berlanjut. Semakin aku melihat Feby tumbuh dewasa, semakin aku merasa aku juga ikut membesarkan Feby. Kami sahabat, tapi jauh di dalam hatiku Feby sudah seperti anak dan cucuku sendiri.”
Adegan di depan Bagas bergerak lagi.
Kali ini waktu berputar cepat seperti adegan dalam film yang dipercepat.
Tahun 2020.
“Nenek! Aku berangkat dulu!”
“Hati-hati!”
Seperti kebiasaannya sejak tinggal seorang diri, setiap akan berangkat pergi dari rumahnya, Feby akan mampir ke rumah Nenek Haris dan mengucap salam perpisahannya pada Nenek Haris.
“Pasti, Nenek.” Feby yang berdiri di depan pagar, melihat Nenek Haris sedang berjemur di teras rumahnya seperti biasa untuk mendapatkan sinar matahari pagi. “Nek! Mau aku bawakan apa buat oleh-oleh?”
“Kamu ini! Nenek kan sudah tua! Sudah enggak bisa banyak makanan aneh-aneh lagi!” Nenek Haris menjawab sembari tersenyum pada Feby karena sudah menganggap Feby sebagai anak dan cucunya sendiri. “Jangan beli makanan aneh-aneh! Di lidah memang enak, tapi kalo kamu sudah tua kayak Nenek, kamu baru tahu makanan itu sama sekali enggak sehat!”
“Iya, iya, Nek! Aku enggak akan jajan makanan aneh-aneh! Aku nanti mau beli buah! Nenek mau buah apa? Jeruk? Semangka? Apel? Atau mau yang lain?”
“Terserah kamu saja.” Nenek Haris mengangkat tangannya dan memberi isyarat pada Feby untuk mendekat padanya. “Sini! Nenek kasih uang buat beli buahnya!”
“Enggak usah, Nek! Uang sakuku dari Ayah sama Ibu sudah sangat berlebih, Nek! Cuma buat beli buah saja, Nenek enggak perlu kasih aku uang!”
“Apanya yang cuma buat beli buah?” Nenek Haris memanggil Feby lagi kali ini dengan tatapan mata tajam memaksa Feby untuk mendekat padanya.
Tadinya Feby tidak ingin menerima uang pemberian Nenek Haris karena memang uang saku dari ayah dan ibunya memang sudah berlebih. Tapi tatapan Nenek Haris yang tajam itu adalah tanda bahwa Feby tidak boleh menolak. Mau tidak mau kalau tidak ingin Nenek Haris marah, Feby harus mendekat dan menerima uang itu.
“Beneran, Nek! Uangku dari Ayah sama Ibu banyak.”