“Ibu, aku datang!” Karena tak kunjung mendapat balasan dari Nenek Haris, tamu Nenek Haris itu mengulangi salamnya lagi pada Nenek Haris.
“Ya, ya, mata dan telingaku masih sehat, Bud! Ibu dengar!” Setelah mengembuskan napas panjang pertanda bahwa setelah ini kepalanya akan sakit karena mendengar masalah dari satu-satunya putranya, Nenek Haris akhirnya menjawab panggilan Budi. “Pagarnya enggak dikunci. Kamu bisa buka.”
Budi membuka pintu pagar rumah Nenek Haris. Seperti biasanya Budi akan datang bersama dengan Resti-istri keduanya. Dulu saat baru menikah dengan Resti, Budi selalu mengajak Resti dan anak tirinya-Jelita kalau berkunjung ke rumah Nenek Haris. Tapi sekarang Jelita yang umurnya tidak jauh dengan Andika, harusnya sudah cukup besar. Jadi sekarang Budi jarang membawa Jelita karena dia mungkin sedang sekolah.
“Ada apa kemari?” Tahu karena biasanya Budi-anak laki-lakinya itu selalu datang dengan membawa masalah, Nenek Haris langsung menanyakan tujuan kedatangan Budi.
“Ibu ini! Kalo tetangga yang dengar, rasanya aku datang berkunjung ke rumah Ibu pasti dengan ada maunya, Bu!” Budi menjawab sembari memijat bahu Nenek Haris.
Hanya dengan melihat bagaimana Budi memijat bahunya, Nenek Haris tahu Budi datang memang dengan tujuan tertentu dan tujuan itu tak pernah berubah meski sudah bertahun-tahun lamanya: uang.
“Ibu, makanannya sudah saya taruh di kulkas.” Resti-istri Budi tadi segera ke dalam rumah Nenek Haris, meletakkan makanan yang dibawanya ke dalam kulkas dan segera menghampiri Nenek Haris bersama dengan suaminya.
“Ya makasih, Resti.”
Dulu … Nenek Haris sangat tidak suka dengan Resti. Kenapa? Karena Resti-lah penyebab pernikahan pertama Budi gagal padahal dirinya sudah susah payah menjodohkan Budi dengan wanita terbaik yang bisa dicarinya dan keluarga yang baik pula. Di pernikahan pertamanya, Budi bisa hidup dengan nyaman bahkan tanpa perlu memikirkan kesulitan uang. Tapi ternyata takdir berkata lain, Budi terjerat cinta dengan Resti, selingkuh dan akhirnya bercerai dengan istri pertamanya. Dan sekarang … setelah bertahun-tahun, Budi masih tetap setia dengan Resti meski hidupnya serba kesulitan.
“Kali ini apa masalahmu lagi, Budi?” Nenek Haris menarik tangan Budi yang memijat bahunya dan meminta Budi untuk tidak lagi basa-basi. “Kamu butuh uang lagi?”
“I-iya, Bu.”
“Berapa banyak?”
“Sepuluh juta, Bu.”
“Nanti Ibu transfer uangnya. Kamu bisa pulang.”
Benar saja, tidak lama setelah mendapatkan keinginannya, Budi bersama dengan istrinya-Resti langsung pulang. Nenek Haris sudah hafal betul kebiasaan Budi ini karena sudah mengalaminya bertahun-tahun.
Huft! Setelah Budi dan istrinya pergi, Nenek Haris menghela napas panjang melihat ke langit di mana sinar matahari mulai terasa terik.
Aku harus minta Rani untuk menjual tanah lagi.
Sembari memikirkan hal itu, Nenek Haris mengingat-ingat jumlah harta warisan dari suaminya, menghitung berapa banyak tanah yang akan dijualnya lagi dan nantinya harus tetap ada yang disisakan untuk warisan terakhir jika dirinya meninggal.
Huft! Nenek Haris menghela napas panjang lagi. Memikirkan Budi, membuat rasa kecewa dalam dirinya kembali datang. Bersamaan dengan rasa kecewa itu, Nenek Haris mengingat semua jerih payahnya selama jadi istri dan ibu. Dulu dirinya dan suaminya bekerja keras dengan susah payah dan sebisa mungkin tidak menjual banyak harta warisan dari orang tua masing-masing. Tapi sekarang … satu persatu harta warisan itu habis.