Andika melirik ke arah Feby untuk melihat reaksi Feby. Tapi reaksi Feby sama sekali bukan reaksi yang Andika tunggu-tunggu. Feby justru melihat ke arah Andika dengan tatapan heran dan bukannya tersipu malu seperti yang diharapkan oleh Andika.
“Kenapa Nenek sangat suka dengan Feby? Hubungan pertemanan Nenek dengan Feby cukup aneh. Gimana yah bilangnya? Nenek dan Feby terpaut umur yang jauh. Tapi gimana kalian bisa cocok satu sama lain?”
Melihat reaksi Feby, Andika teringat dengan kenangannya empat tahun yang lalu saat dirinya bertanya pada Neneknya tentang kedekatannya dengan Feby. Melihat Neneknya sangat dekat dengan Feby dibandingkan dengan anak dan cucu kandungnya sendiri, Andika merasa aneh dengan kedekatan itu. Ditambah lagi selisih umur Neneknya dan Feby yang sangat jauh, membuat Andika semakin merasa heran kenapa Feby bisa jadi teman baik bagi Neneknya.
“Kamu sudah besar, Andika. Kamu pasti tahu permasalahan yang Nenek alami setiap kali orang tuamu, Paman dan Bibimu berdebat satu sama lain.”
“Andika tahu, Nek. Ibu, Paman dan Bibi enggak pernah bisa akur satu sama lain apalagi ketika berhubungan dengan tanah warisan dari Kakek.”
“Mereka enggak bisa akur karena salah Nenek di masa lalu. Sekarang makanya Nenek menuai apa yang Nenek tanam dulu. Tapi kamu tahu sendiri kan Nenek sudah tua.”
“Andika tahu. Nenek memang sudah tua.”
“Nenek yang sudah tua ini, juga butuh ketenangan. Umur Nenek mungkin sudah enggak akan lama lagi. Nenek enggak ingin hari-hari terakhir Nenek dipenuhi dengan permasalahan anak-anak Nenek. Satu-satunya penghiburan yang Nenek miliki hanya Feby seorang. Seperti katamu, Nenek dan Feby terpaut umur yang jauh dan beda generasi. Kami berdua harusnya enggak cocok satu sama lain. Tapi nyatanya kami cocok satu sama lain. Hal itu terjadi karena kami berbagi satu hal yang sama, Andika.”
“Apa itu, Nek?”
“Kami berdua sama-sama kesepian, Andika. Kami berdua sama-sama paham arti kesepian itu. Kami berdua jadi teman yang cocok karena paham dengan arti kesepian itu dengan baik, Andika.”
“Apa hanya itu, Nek? Kalian berdua sama-sama merasakan kesepian?”
“Ada satu lagi.”
“Feby tulus pada Nenek. Maaf kalo Nenek bilang gini, tapi semakin kamu tua, kamu akan semakin mudah melihat tulus atau tidaknya seseorang. Tiga anak Nenek semuanya sudah punya kesibukan. Datang ke rumah Nenek, jadi beban mereka. Dan satu-satunya yang tulus menemani Nenek, bicara dengan Nenek, cuma Feby saja.”
Andika kembali melirik ke arah Feby yang masih melihatnya dengan tatapan heran. Ketulusan yah? Kalo kesepian yang Nenek maksud, mungkin aku sedikit paham. Tapi ketulusan yang Nenek maksud, aku sama sekali enggak paham.
Setelah perjalanan selama sepuluh menit lamanya, Andika menghentikan mobilnya di depan rumah Nenek Haris.
“Ini mobil barumu?” Feby yang sudah turun lebih dulu, bertanya pada Andika karena tidak mengenali mobil yang dibawa Andika hari ini.