Kondisi Nenek Haris terus memburuk. Segala pengobatan ditempuh dan dijalani oleh Nenek Haris, tapi hasilnya, kesehatan Nenek tidak pernah benar-benar membaik seperti sedia kala. Kondisi Nenek Haris terus memburuk bukan hanya karena tubuhnya yang semakin tua, tapi karena pikirannya yang tertekan karena tiga anaknya. Baik Indah, Budi dan Rani terus berdatangan berkunjung ke rumah sakit dan hasilnya ketiganya akan selalu berdebat hebat menyalahkan satu sama lain, mengungkit kesalahan satu sama lain dan membahas warisan.
“Ne-nek mau pu-lang!”
Ketika hanya ada Feby dan Andika yang berjaga di rumah sakit, Nenek Haris tiba-tiba memaksa untuk pulang ke rumah.
“Tapi, Nek! Nenek masih sakit!” Andika dengan jelas menolak keinginan dari Neneknya itu. Tapi Nenek Haris terus memaksa dan dokter yang merawatnya mengatakan mungkin rumah adalah obat terbaik untuk Nenek Haris.
Mendengar penjelasan dokter, Andika tidak lagi bisa menolak dan akhirnya mau menerima keinginan Nenek Haris untuk pulang ke rumah.
“Kenapa Nenek mau pulang? Nenek kan masih sakit.” Feby yang duduk di belakang bersama dengan Nenek Haris, bertanya pada Nenek.
“Ne-nek su-dah eng-gak be-tah di ru-mah sa-kit! Di-tam-bah la-gi, ti-ga a-nak-ku i-tu ti-ap ka-li da-tang ke ru-mah sa-kit sa-ngat be-ri-sik! Se-ti-ap ha-ri a-da sa-ja ba-han ya-ng me-re-ka ja-di-kan un-tuk a-la-san ber-de-bat!” Nenek Haris menjelaskan dengan susah payah meski tubuh sebelah kirinya susah bergerak.
Feby paham yang dimaksud oleh Nenek Haris. Nyatanya tiga anak Nenek Haris selalu saja membuat keributan di rumah sakit. Dan seperti kata Nenek Haris, selalu ada saja bahan yang jadi awal perdebatan tiga anaknya.
“Nenek sekarang boleh pulang. Tapi ingat obat harus diminum! Nenek juga harus nurut sama perawat Nenek yah! Oke?” Feby yang tahu keadaan Nenek Haris tidak bisa berbuat banyak. Keinginan Nenek untuk pulang bukan tanpa alasan. Jelas sekali Nenek Haris terganggu dengan ulah tiga anaknya yang selalu saja ribut ini dan itu saat menjenguknya.
“I-ya. Ne-nek jan-ji nu-rut!”
“Bagus.” Feby memeluk Nenek Haris seperti memeluk ibunya sendiri. Ketika memeluk Nenek Haris, Feby melirik ke depan dan menyadari jika Andika yang sedang mengemudi memperhatikan dirinya dan Nenek dari kaca spion.
Ada semacam sorot rasa bersalah dan rasa kesal tertangkap dalam pantulan bayangan kaca spion dari mata Andika.
Feby ingat setiap kali keluarga Andika membuat keributan di rumah sakit, Andika akan memasangkan earphone di telinga Feby dan berharap Feby tidak mendengar perdebatan itu. Feby selalu menurut dengan Andika dengan mendengarkan lagu yang diputar oleh Andika. Tapi mata Feby tetap bisa melihat. Feby dapat dengan jelas melihat bagaimana Andika mengepalkan tangannya menahan amarah melihat keluarganya yang tidak bisa berhenti berdebat satu sama lain seolah sudah jadi hal yang biasa. Feby juga dapat dengan jelas melihat bagaimana raut wajah bersalah Andika setiap kali memaksa Feby mendengarkan lagu dari hpnya ketika keluarganya berdebat. Feby juga dapat mengingat jelas betapa malunya wajah Andika setiap kali ada perawat yang menegur keluarganya ketika sedang berdebat.
Tapi sekali lagi, Feby hanya bisa diam karena sadar posisinya hanyalah orang asing dan sekedar tetangga bagi Nenek Haris.