Kematian Nenek Haris jadi pukulan yang menyakitkan bagi keluarganya. Setelah perkembangan baik yang ditunjukkan selama tinggal di rumah, semua orang mengira Nenek Haris akan kembali sehat nantinya. Tapi kematian Nenek Haris sama sekali tidak disangka. Tiga anak Nenek Haris hanya bisa menangis ketika melihat tubuh Nenek yang sudah dingin dan kaku.
“Gimana Ibu bisa meninggal?” tanya Indah tidak percaya dengan air matanya yang jatuh bercucuran.
“Bukannya Ibu kemarin baik-baik saja? Kenapa sekarang mendadak Ibu kayak gini?” tanya Budi yang juga memasang wajah sedihnya meski air matanya hanya menetes tidak mengalir deras seperti Indah dan Rani.
“Ibu, Ibu! Padahal aku mau datang ke sini hari ini nemenin Ibu! Tapi Ibu sudah pergi duluan!” tangis Rani.
Andika sempat membawa Nenek Haris ke rumah sakit. Tapi dokter yang memeriksa menyatakan jika Nenek Haris meninggal beberapa jam yang lalu karena penyakitnya. Jadi saat semua orang tertidur, Nenek Haris mengembuskan napas terakhirnya.
Hujan tangis tiga anaknya mewarnai kematian Nenek Haris, tapi hujan tangis itu tidak berlangsung lama ketika Indah-anak pertama Nenek Haris lagi-lagi menyalahkan Budi-adiknya untuk kematian Nenek Haris.
“Bud! Kamu kemarin enggak minta uang lagi sama Ibu kan?” Di tengah wajahnya yang basah oleh air mata, Indah mendadak memasang raut wajah curiga pada Budi yang duduk tidak jauh darinya menangisi kepergian ibunya.
“Apa maksud Mbak?” Budi langsung menghapus air matanya ketika mendengar pertanyaan penuh curiga itu tertuju padanya.
“Setiap kali kamu minta uang sama Ibu, pasti Ibu akan jatuh sakit! Kemarin Ibu baik-baik saja dan sekarang … Ibu mendadak meninggal! Kalo bukan karena ulahmu, karena ulah siapa lagi coba?” balas Indah.
“Mbak! Mbak enggak lihat situasi sekarang huh?? Ibu meninggal dan Mbak masih sempat bahas masalah enggak penting kayak gini?” Budi membalas dengan menaikkan nada bicaranya pertanda bahwa dirinya sama sekali tidak takut dengan intimidasi yang diberikan Indah-kakaknya.
“Justru karena Ibu meninggal mendadak, ini pasti karena ulah kamu, Bud!” Indah menaikkan suaranya lagi melawan Budi.
“Mbak! Jaga mulut Mbak! Ibu baru saja meninggal!” Budi berusaha menahan emosinya.
“Mbak, jangan bahas itu dulu! Ibu baru saja meninggal, Mbak!” Rani berusaha menjadi penengah karena melihat Budi berusaha menahan amarahnya sekuat tenaganya. Tangan Budi mengepal keras berusaha untuk tidak memukul kakak perempuannya dan Rani menyadari apa yang sedang Budi tahan sekuat tenaga.
“Justru karena Ibu meninggal mendadak, aku harus pastikan kalo ini adalah ulah adik laki-lakiku! Apa kamu lupa, Ran? Setiap kali Budi minta uang sama Ibu, Ibu pasti jatuh sakit!” Indah sama sekali tidak berniat untuk mengalah dan melepaskan masalah ini.
“Mbak! Kalo saja Mbak bukan perempuan!” Budi menahan tangannya yang sudah naik ke atas hendak menampar wajah Indah.
“Kenapa? Kamu mau pukul aku hah? Sini, pukul aku!” Bukannya mundur, Indah justru maju menantang Budi yang sedang menahan amarahnya sekuat tenaganya.
“Mbak, tolong berhenti!” Rani memohon pada Indah karena takut melihat wajah Budi yang sudah sangat merah menahan amarahnya.
“Enggak akan, Ran! Sekarang kamu mau pukul aku kan, Budi? Sini, pukul aku kalo kamu berani!!!”
Indah terus menantang Budi dan membuat Budi nyaris saja benar-benar memukul Indah. Tapi Budi masih sadar diri jika kakaknya adalah perempuan, jadi Budi membuat pukulannya meleset tepat di depan wajah Indah.