Dua minggu kemudian.
Suasana duka masih memenuhi keluarga Nenek Haris. Rumah Nenek Haris masih penuh dengan kerabat dan kenalannya yang datang untuk mengucapkan belasungkawa mereka atas kepergian Nenek Haris. Di sisi lain, Feby yang hanya sebagai tetangga dekat terkadang ikut membantu bersama di rumah Nenek Haris bersama dengan Andika. Tapi setelah seminggu Feby yang merasa sudah tak punya hak lagi, menarik dirinya.
Hanya saja sesuatu tak terduga terjadi di hari kesepuluh setelah kematian Nenek Haris.
Tok, tok!
Ketukan pintu terdengar. Feby baru saja pulang kerja dan tadinya Feby berniat untuk santai sejenak sebelum memasak makan malamnya.
“Siapa?” Feby bertanya sembari berjalan menuju ke pintu rumahnya dan membuka pintu rumahnya. “Loh? Andika? Kenapa?”
Feby jelas kaget menemukan Andika mengetuk pintu rumahnya tanpa memberi kabar dulu padanya. Biasanya Andika jika ingin minta bantuan pada Feby, akan mengirim pesan lebih dulu agar Feby bisa mengambil ijin libur atau terlambat bekerja. Tapi hari ini Andika mendadak muncul di depan pintu rumahnya dengan raut wajah tak biasa.
“Kamu punya waktu sekarang?” tanya Andika.
Feby menganggukkan kepalanya karena niatnya Feby ingin santai sejenak setelah pulang bekerja. “Punya. Kenapa?”
“Bisa ikut aku sekarang? Ada sesuatu yang penting yang terjadi dan kamu harus ada.”
Feby ikut dengan Andika seperti permintaan Andika. Feby mengira Andika akan membawanya entah ke mana. Tapi ternyata Andika hanya membawanya ke rumah milik Nenek Haris di mana semua anak dan cucu Nenek Haris telah berkumpul di ruang tengahnya.
“Apa ini?” Feby berbisik pada Andika karena tidak mengerti dengan situasi di hadapannya sekarang.
“Setelah ini kamu akan tahu.” Andika tidak memberi penjelasan. Tapi tidak lama kemudian Feby mendapatkan jawaban untuk pertanyaan.
Di antara semua anak dan cucu Nenek Haris, ada seorang pria yang mengenakan setelan jas lengkap, berumur di pertengahan lima puluh tahunan, berpakaian rapi dan wangi parfumnya menyebar hampir ke seluruh bagian rumah Nenek Haris. Hanya dengan melihat penampilan pria itu, Feby dapat menebak apa yang sedang terjadi.
“Apa ini Nona Feby?” Pria itu bertanya pada Feby begitu melihat Feby berdiri di samping Andika.
“Ya, saya Feby.”
“Nona bawa KTP Nona?” tanya pria itu lagi.
Feby tadi belum sempat meletakkan tas kerjanya ketika Andika mengetuk pintu rumahnya. Jadi tentu saja Feby membawa KTP-nya dan menunjukkan KTP-nya seperti yang diminta oleh pria itu.
“Ini, Pak.”