“Apa Bapak sudah mendengarnya??”
Diratama yang sedang mempersiapkan kertas ujian, menghentikan tugasnya ketika mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Galih-Dosen Bahasa Inggris yang merupakan teman kuliah Diratamasekaligus rekan kerjanya saat ini.. Jika Diratama tidak salah ingat, persahabatnnya dengan Galih sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Hubungan kedua Diratama dan Galih sudah lebih dari teman dan lebih tepat jika disebut dengan saudara. Bahkan istri Diratama-Fitri dengan istri Galih-Rani juga bersahabat baik layaknya saudara.
“Berita apa lagi yang aku lewatkan kali ini?” Diratama bertanya karena selalu hanya dia yang ketinggalan berita penting. Di mata Diratama, isu dan gosip terkadang lebih baik diabaikan dan tidak didengar. Mendengar hal-hal seperti itu, hanya akan menimbulkan penilaian dan prasangka terhadap sesuatu atau seseorang sebelum mengenali sesuatu atau seseorang itu sendiri dan Diratama tidak suka akan hal itu.
“Kau tentu tahu Mahasiswa bernama Jakti yang dikenal selalu datang terlambat, tidur di kelas dan selalu memiliki luka di wajahnya??” Galih bicara dengan sedikit merendahkan suaranya sembari kedua matanya sedikit melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa di ruangan itu hanya ada Diratama dan dirinya sendiri.
“Ehm … “ Diratama berusaha untuk mengingat satu mahasiswanya yang bernama Jakti. Diratama mungkin akan kesulitan jika Jakti adalah mahasiswa yang memiliki ciri seperti mahasiswa seperti umumnya. Akan tetapi … mahasiswa bernama Jakti ini sedikit membekas di ingatan Diratama karena Jakti selalu datang terlambat dengan pakaian yang lusuh, wajah yang kadang lebam atau terpasang plester obat, selalu duduk di kursi paling belakang dan tidur di sana seperti gambaran yang diberikan Galih.
“Jangan bilang jika kau tidak ingat dengan mahasiswamu itu7??” Galih nyaris saja kehilangan kesabarannya menunggu Diratama berusaha menggali ingatannya tentang Jakti.
Diratama menganggukkan kepalanya. “Aku ingat, aku ingat. Mahasiswa dengan ciri seperti itu bukan mahasiswa yang akan dengan mudah dilupakan dosen seperti kita.”
“Nah kau ingat rupanya … “ Galih tersenyum senang mendapati jawaban Diratama. “Kukira sikap cuek itu memburuk lagi hingga kau tidak bisa mengingat mahasiswamu.”
“Kau mengejekku, Galih??”
Galih menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Itu oujian bukan ejekan.”
“Siapapun yang mendengarnya pasti akan bilang kau sedang mengejekku, Galih!!! Apa kau sudah bosan menjadi temanku??” Diratama mengambil ponselnya dan membuka nomor kontak Galih yang tersimpan di dalamnya. “Jika kau sudah merasa bosan menjadi temanku, mungkin aku harus memblokir nomor kontakmu agar kau berhenti merecoki dengan curhatanmu tentang anak dan istrimu lagi.”
“Jangan!” Galih dengan cepat menghentikan niat Diratama itu dan membuat tangan Diratama mengembalikan ponsel itu ke dalam saku seperti sebelumnya. “Hanya kamu yang aku punya jika aku bermasalah dengan istriku. Tanpa kau dan Fitri, aku pasti sudah lama bercerai dengan Rani. Kau tahu dengan baik Rani selalu mengancam meminbta cerai padaku karena kesalahan lamaku itu.”
“Itu memang salahmu, Galih. Apa kau tidak pernah dengar wanita mungkin memaafkan, tapi tidak melupakan?? Itu yang sedang kau dan Rani alami dan mungkin kelak akan terus begitu, jika kau tidak mengubah sikapmu yang kadang pelupa itu.” Diratama kembali dengan tugasnya dan mulai berjalan menuju ke kelas tujuannya pagi ini. “Aku kadang-kadang benar heran padamu, Galih. Bagaimana kau selalu ingat akan gosip ini dan itu tapi selalu lupa tentang hari pernikahan dan hari ulang tahun istrimu.”
“Itu salahkan sistem otakku yang lebih tertarik dengan berita yang sedang beredar dibandingkan mengingat hari ulang tahu di setiap tahunnya.” Galih yang belum menyelesaikan ceritanya segera menyusul Diratama dengan niat melanjutkan ceritanya lagi. Kebetulan … pagi itu kelasnya dengan kelas Galih bertetangga. Galih menyamakan langkah kakinya dengan Diratama dan berjalan di sampingnya. “Dira, aku belum selesai cerita!!”