“Apa Jakti tidak tahu betapa susahnya mengandung dan melahirkan seorang anak??” ujar Rina menggebu-gebu. “Aku melihat kakakku yang baru saja melahirkan, sudah tidak tega. Kenapa Jakti sampai setega itu kepada Ibunya???”
Ucapan Rina itu bak minyak tanah yang dituang ke atas api dan membuat diskusi kecil di kelas Diratama semakin memanas.
“Itu benar. Apa jakti tidak tahu pepatah yang mengatakan surga berada di kaki ibumu?? Pepatah itu bukan dibuat sembarangan. Butuh perjuangan besar untuk bisa mengandung anak selama sembilan bulan lamanya dan kemudian membesarkannya selama bertahun-tahun sebelum akhirnya anak itu bisa hidup mandiri.” Kali ini komentar itu datang dari Gilang.
“Itu benar-benar.” Semua mahasiswa yang ada di dalam ruangan Diratama, tiba-tiba menganggukkan kepalanya setuju dengan komentar yang dikatakan oleh Gilang.
“Jakti itu benar-benar anak yang tidak tahu diri!!!” Argiya memberikan komentarnya lagi. “Berkat siapa dia lahir ke dunia ini kalau bukan karena orang tuanya!!”
Awalnya Diratama tidak mengira jika diskusi kecil ini akan mengarah pada titik ini. Diratama tadinya hanya ingin melihat dan mengawasi saja mahasiswanya yang sudah bisa dikatakan sebagai orang dewasa. Tapi melihat arah diskusi yang mulai menyudutkan Jakti tanpa melihata alasan dibalik perbuatan Jakti, Diratama tidak bisa tinggal diam saja. Sudah menjadi tugas orang yang lebih dewasa dan dosen untuk memperbaiki kesalahan dari yang lebih muda terutama jika orang itu adalah mahasiswanya sendiri.
Tok! Tok! Tok! Diratama mengetukkan spidol yang dibawanya ke papan tulis beberapa kali untuk membuat mahasiswanya diam dan menghentikan diskusi yang sudah berjalan ke arah yang salah. Tapi usahanya itu tidak mampu membendung mahasiswanya yang sudah memanas. Diratama tidak punya pilihan lain selain membuka mulutnya.
“Tolong berhenti sebentar!!!”
Diratama bicara dengan nada lantang dan cara itu berhasil. Dalam sekejap kelas menjadi hening karena teriakan keras dari Diratama.
Diratama berjalan ke depan mejanya dan kemudian duduk bersandar di meja dengan tangan yang masih menggenggam spidol. Diratama menatap wajah mahasiswanya satu persatu dan melihat bahwa tatapan mereka kini memancarkan tatapan menghakimi yang ditujukan untuk Jakti. Tatapan mahasiswa-mahasiswi di kelasnya itu, membuat Diratama mengingat kenangan lamanya beberapa tahun lalu.
“Kita … “ Diratama mulai angkat bicara setelah sejak tadi memilih untuk diam dan memperhatikan. Diratama bicara dengan nada lembut dengan tujuan untuk membuat mahasiswanya yang memanas kembali berpikir dengan kepala dingin. “Kita semua di sini belum tahu alasan di balik perbuatan Jakti. Tapi kenapa Bapak mendengar diskusi kalian yang seolah sudah mengecap bahwa Jakti bersalah??? Apa di antara kalian ada yang tahu alasan Jakti memukuli ibunya??”
Semua mahasiswa dan mahasiswi sempat terdiam mendengar pertanyaan Diratama. Tapi …
“Apapun alasannya melukai, menyerang orang lain terutama Ibu kita yang melahirkan dan membesarkan kita adalah perbuatan yang salah, Pak!” Gilang memberikan pendapatnya menanggapi Diratama.
Tok! Tok! Tok! Diratama mengetukkan spidolnya beberapa kali ke mejanya. Tapi kali ini suaranya tidak senyaring saat Diratama mengetukkannya ke papan tulis. “Bapak tidak membenarkan apa yang Jakti perbuat, hanya saja perbuatan Jakti itu pasti memiliki alasan. Yang Bapak permasalahkan adalah kalian semua menilai dan menghakimi Jakti sebagai anak durhaka, anak yang buruk dan anak yang tidak punya rasa terima kasih kepada orang tuanya, ketika kalian tidak tahu alasan Jakti melakukannya. Bapak tidak akan berkomentar jika alasan dari perbuatan Jakti sudah dipublikasikan. Sekarang katakan apda Bapak, apa alasan dari perbuatan Jakti itu??”
“ … “ Sekali lagi semua mahasiswa dan mahasiswi di kelas Diratam terdiam.