“Walah! Walah!” Mahasiswa bernama Nanda bicara sembari menggelengkan kepalanya karena tidak percaya dengan kisah Junaedi dan ibunya-Annah. “Lah kok semua sudah dituruti tapi kok nganggep Junaedi masih anak durhaka hanya karena melanggar satu perintah saja?? Ibu macam apa itu??”
Mahasiswa bernama Argiya menganggukkan kepalanya setuju. “Jika Junaedi yang selalu menuruti perintah ibunya dan hanya melanggar satu perintah saja dianggap anak durhaka, bagaimana denganku?? Di rumah tiap kali disuruh ibuku keluar beli ini dan itu, aku selalu bilang nanti, ntar, tunggu dan sejenisnya. Aku lebih banyak melanggar perintah ibuku dibandingkan dengan Junaedi, apa aku juga anak durhaka??”
“Lahh aku juga sama.” Gilang menganggukkan kepalanya setuju dengan ucapan dari Argiya. “Berarti aku juga anak durhaka?? Aku lebih buruk dari Junaedi donk.”
“Aku juga sama.” Mahasiswi bernama Linda juga ikut angkat bicara.
“Aku juga donk.” Alia juga tak ingin kalah.
Tok! Tok! Tok! Diratama mengetukkkan spidol yang dibawanya ke mejanya beberapa kali sebagai isyarat untuk tenang kepada mahasiswa di kelasnya. “Ini baru satu kisah, kenapa kalian sudah ramai memberikan penilaian sebelum semua kisah Bapak ceritakan??”
“Juanedi yang begitu penurut saja, dianggap durhaka oleh Ibunya-Annah, bagaimana dengan kami yang kalau disuruh ini dan itu oleh ibu, selalu mengeluarkan jurus 1001 alasan?” Argiya bicara dengan nada gelisah pertanda kisah tadi mulai menyentuh hati dan pikirannya.
Diratama tersenyum mendengar ucapan Argiya. “Apa menurut kalian begitu? Apa kalian semua setuju jika Junaedi adalah anak yang durhaka kepada ibunya hanya karena melanggar satu perintah dari ibunya?”
“ … “ Untuk sejenak, semua mahasiswa di kelas Diratama terdiam. Diratama menatap satu persatu mahasiswanya dengan satu tatapan cepat dan menyadari jika mahasiswanya kali ini merasakan hal yang sama: bingung. Mahasiswa di kelas Diratama saat ini bingung harus menyebut Junaedi sebagai anak durhaka atau tidak.
Sapuan mata Diratama kemudian berhenti pada mahasiswa bernama Dara yang sejak tadi diam. Mata Diratama berhenti pada Dara karena Diratama melihat bahwa Dara saat ini tidak memiliki raut wajah bingung seperti mahasiswa yang lain. Diratama kemudian bertaruh kecil pada penilaian pandangannya.
“Dara?” Diratama memanggil Dara.