“Kenapa bisa begitu, Pak?” Rina mengacungkan tangannya dan bertanya kepada Diratama. “Kenapa Ayu yang paling dirugikan?”
Linda mengacungkan tangannya juga dan merasa bingung dengan cerita kedua dari Diratama. “Apa yang membuat Ayu yang paling dirugikan, Pak?”
Diratama menatap mahasiswanya secara bergantian sebelum memberikan jawaban. “Pernahkah kalian membayangkan jika suatu hari kalian tiba-tiba mendapatkan saudara baru di usia 10 tahun, 12 tahun?? Apa reaksi kalian? Menerima dengan baik atau justru sebaliknya?”
Mahasiswa di kelas Diratama memberikan jawaban yang berbeda-beda: ada yang memilih menerima dan ada pula yang memilih untuk melakukan hal sebaliknya.
“Dua reaksi itu bisa muncul tergantung bagaimana didikan kedua orang tuanya. Jika sejak awal … orang tua mengajarkan anaknya untuk selalu menerima keadaan, bersabar dan paham bahwa tidak semua hal bisa dimiliki, maka anak itu akan menerima saudara barunya dengan baik. Meski awalnya sulit untuk bicara atau beradaptasi dengan saudara barunya, tapi karena ajaran yang dibiasakan oleh kedua orang tuanya, anak itu juga akan berusaha untuk dekat dan menyayangi saudara barunya. Sebaliknya …jika sejak awal orang tua selalu menuruti keinginan anaknya, memberikan kasih sayang berlebihan hingga memanjakannya dan tidak membiasakan pada anak bahwa tidak semua hal di dunia ini harus dimiliki, maka ketika keadaan berubah … anak itu tidak akan bisa beradaptasi dengan mudah. Hal itulah yang terjadi pada Ayu dan beberapa saudaranya yang sempat diadopsi oleh sanak saudara Nuraini. Anak-anak Nuraini dibesarkan oleh tangan-tangan dan cara-cara yang berbeda, membuat anak-anak itu punya sifat yang sangat jauh berbeda. Lalu Ayu … satu-satunya anak yang tidak pernah diadopsi seutuhnya, melihat dengan jelas kehidupan sulit milik Nuraini dan tumbuh jadi anak yang menerima segala keadaan baik itu sulit sekalipun.”
“Kok tega yah, anak yang sudah susah payah dikandung dan dilahirkan diberikan kepada orang lain??” Linda mengeluarkan komentarnya dengan sedikit nada bergidik. “Membayangkan anak yang selalu bersamaku, menghilang … rasanya seperti kehilangan sekali.”
“Iya, aku juga setuju. Dipisahkan dari kucing peliharaanku saja, aku tidak mau apalagi dipisahkan dari anak.” Ruri ikut berkomentar. “Dipisahkan dari anak, itu adalah hal yang sulit. Kita yang berangkat kuliah di luar kota dan berpisah dari orang tua dan rumah saja, sudah terasa berat apalagi dipisahkan saat kecil. Pasti rasanya akan ada yang aneh ketika tahu bahwa orang tua yang selama kita kenal bukan orang tua kandung kita dan tiba-tiba kita dikembalikan ke orang tua kandung begitu saja.”
“Mau dilanjutkan ceritanya?” Diratama bertanya kepada mahasiswa di kelasnya.
“Mau, Pak!!” Mahasiswa di kelas Diratama menjawab dengan serentak.
“Kalau begitu, Bapak lanjutkan … “
Ada alasan kenapa hanya Ayu-lah yang tidak diizinkan oleh Nuraini untuk diadopsi oleh saudara-saudaranya. Kakak laki-laki Nuraini bahkan pernah beberapa kali memohon kepada Nuraini agar dia bisa mengadopsi Ayu sebagai anaknya karena tidak memiliki anak perempuan dan hanya memiliki tiga anak laki-laki. Alasannya mudah: Nuraini yang merupakan anak emas di keluarganya, selalu disayang di keluarganya dan keinginannya selalu dituruti oleh orang-orang di keluarganya, merasa bahwa Ayu adalah keberuntungan di keluarganya sama seperti dirinya dulu. Karena banyak orang yang ingin mengadopsi Ayu, orang-orang itu sering mengirim pakaian, perhiasan, makanan, bahan makanan pokok dan uang.
“Ini untuk anakku-Ayu. Baju baru ini untuk Ayu.”
“Ini untuk Ayu yang manis. Jangan sampai dia kelaparan, jangan sampai tidak punya baju baru.”
“Ini uang untuk sekolah Ayu, uang untuk seragam sekolah Ayu dan sepatu sekolah Ayu.”