“Pak!” Linda mengacungkan tangannya memanggil Diratama dan menyela cerita Diratama tentang kisah ketiga ibu dan anak.
“Ya, Linda?” Diratama memberikan ijinnya. “Ada apa?”
Diratama melihat Linda meneteskan air matanya. Tes … tes … “Kok Bapak buat cerita sedih banget sih?? Saya merasa lagi lihat sinetron, Pak?”
“Itu pujian atau bukan, Linda?” Diratama bertanya untuk memastikan. Terkadang … anak-anak jaman sekarang seringkali membuat ejekan yang terdengar seperti pujian dan pujian yang terdengar seperti ejekan.
“Huhuhu … ini jelas pujian, Pak.”
Diratama tersenyum kecil mendengar jawaban Linda sembari menghapus air matanya. “Terima kasih untuk pujiannya, Linda. Bisa Bapak lanjutkan lagi ceritanya?”
Diratama melihat ke arah mahasiswa di kelas secara bergantian dan menyadari bukan hanya Linda saja yang memberikan wajah sedih ketika mendengar kisah ketiga ibu dan anak. Kebanyakan mahasiswinya melihat Diratama dengan sorot mata yang sedih.
Huft! Diratama menghela napas panjang karena sedih melihat wajah sedih dari mahasiswinya. Tapi … apa yang saat ini dilakukan oleh Diratama adalah sebuah pelajaran penting kepada mahasiswa dan mahasiswinya yang kelak akan jadi orang tua. Ini mungkin hanya cerita kecil dari banyaknya cerita ibu dan anak. Akan tetapi dari banyak kisah ibu dan anak, berapa banyak kisah yang bisa diambil hikmah dan pelajarannya. Ini adalah satu dari beberapa alasan Diratama menceritakan tiga kisah ibu dan anak kepada mahasiswanya di samping masalah yang sedang menimpa mahasiswanya yang bernama Jakti.
Kisah berlanjut.
Ibu Fitri bertahan selama beberapa tahun dan selama waktu bertahannya, Ibu Fitri selalu mengajukan pertanyaan yang sama kepada suaminya. “Jika kau merasa berat dengan Emak, silakan ceraikan aku. Biar anak-anak yang aku bawa, aku yang asuh. Mumpung anak-anak masih kecil.”