TAKDIR

budi setiawab
Chapter #1

Chapter tanpa judul #1

  Hari itu Minggu, bulan Mei, siang hari pukul dua belas. Matahari bersinar terang, panas sangat terik, terasa sekali menyengat kepala. Pasar Gombrang kebakaran.


  "Kebakaran ...!" teriak seorang laki-laki pedagang Pasar Gombrang. Ia berlari keluar, kebingungan.


  "Kebakaran ...!" teriak perempuan yang menyusul laki-laki tadi. Ia juga lari kebingungan.


  "Kebakaran ...! Kebakaran ...! Kebakaran ...!" teriak orang-orang yang ada di Pasar Gombrang semakin ramai.


  Siang itu Pasar Gombrang dilalap si jago merah. Orang-orang berlarian. Ada yang langsung mengambil air dengan ember, menyiramkan air ke sumber api. Api berasal dari tengah pasar, katanya dari kompor bakul mi ayam yang meledak. Yang jualan mi ayam namanya Pak Samin. Saat itu Pak Samin pergi, sementara kompor di gerobak mi ayam masih menyala. Entah janggal, atau keterlaluan, mau pergi kok menyalakan kompor. Akhirnya kompor itu meledak, api menjalar sangat cepat, karena Pak Samin berjualan di bagian tengah, yang sebenarnya itu kios-kios untuk pedagang pakaian. Tentu api dengan mudah melalap dagangan di sebelahnya. Sementara, kios pakaian membuat gerobok tempat penyimpanan dari papan kayu yang mudah terbakar.


  Beberapa pedagang berlari menyelamatkan diri. Ada yang membopong barang dagangannya, ada pula yang menyelamatkan anaknya. Ada yang hanya sempat menyelamatkan kotak uang, tetapi juga ada yang tidak sempat membawa apa-apa. Api cepat membesar dan merambat ke seluruh kios di pasar. Usaha orang-orang untuk menyiram dengan air tidak sanggup mengalahkan besarnya kobaran api.


  "Anakku ..., tolooong ...! Anakku ..., tolooong ...!" seorang perempuan menangis, selonjor di jalan sambil gedruk-gedruk, kakinya menendang-nendang, meronta-ronta, menjerit-jerit sejadi-jadinya. Tentu orang-orang langsung memerhatikan perempuan tersebut, yang ternyata Cik Lan, pedagang pakaian di los tengah.


  "Cik Lan, kenapa?" tanya seseorang yang masih sibuk ikut mengangkati air.


  "Belum tahu, anaknya kenapa?" jawab yang lain.


  "Koh Liem, itu istrimu, Cik Lan menangis kenapa ...?!" tanya orang yang lain.


  "Hah, ada apa .... Oe tak tanya dulu." jawab Koh Liem, suami Cik Lan, yang juga ikut mengankati ember air untuk menyiram api, katanya, "Hah, Lan, kamu orang menangis kenapa, ha ...?!"


  "Anak, Pah ..., anak kita, Pah ...!" kata Cik Lan.


  "Memang anak kenapa, ha ...?" tanya Koh Liem yang jadi bingung.


  "Melian, Pah ...! Anak kita, Melian masih ada di dalam pasar ...!" teriak Cik Lan, masih menangis.


  "Hah ...? Melian masih di dalam ..., hah ...? Kamu orang bagaimana, disuruh bawa anak malah ditinggal itu anak ..., hah ...?!" Koh Liem jadi bingung. Ia berlari membawa ember berisi air, diguyurkan ke sekujur tubuhnya, lantas meminta air lagi, berlari menuju ke pasar yang apinya masih berkobar. Sambil berlari ia mengguyur tubuhnya, ingin menerjang api untuk menyelamatkan anaknya.


  "Koh, jangan ...! Jangan, Koh ...!!" orang-orang berteriak melarang Koh Liem yang akan menerjang api.


  "Koh Liem, jangan, nanti terbakar ...!"


  "Koh Liem, berhenti ...!"


  Api berkobar menjilat-jilat. Orang-orang melarang Koh Liem, mencegah untuk menerjang api. Namun rupanya Koh Liem nekat, mau menerjang api. Melihat kenekatan Koh Liem, tiga orang laki-laki langsung berlari menubruk dan menyeret Koh Liem.


  "Koh Liem, jangan nekat, Koh ...!" bentak salah satu orang yangmenyeret Koh Liem.

Lihat selengkapnya