Dari kursi nyaman yang ia duduki, Adhis menatap langit jingga yang kini tengah memayungi Yogyakarta. Kehidupannya sangat sempurna, bergelimang materi yang jumlahnya tak sedikit. Sementara latar belakang keluarganya masih tergolong dalam Keluarga dengan strata sosial tinggi di Yogyakarta.
Seminggu berlalu sudah, sekuat tenaga Adhis menahan perasaannya, dan memang Adhis akui, Raka begitu lihai menyembunyikan sandiwaranya. Dengan menggunakan alasan jaga malam di Rumah Sakit, Raka kerap pergi disaat hari mulai larut.
Seminggu ini, ketika Raka berpamitan, Adhis nyaris tak bisa membedakan, apakah Raka benar-benar pergi ke Rumah Sakit, atau pergi menemui wanita itu dan anaknya. Sungguh Adhis belum sanggup membayangkan kemungkinan tersebut.
Tok
Tok
Tok
Setelah mengetuk pintu, Pria muda itu menyodorkan laporan yang berhasil ia kumpulkan selama seminggu belakangan ini.
“Katakan! aku siap mendengarnya.” Suara Adhis terdengar datar, namun ia harus bersiap, jika bukan sekarang, harus kapan lagi?
“Apa Ibu yakin?” tanya Yoga
Adhis mengangguk yakin. “Namanya Anggita Jelita, usianya baru 25 tahun ketika mereka menikah secara siri. Hingga saat ini belum tercatat, karena tidak ada izin dari Anda selaku istri pertama.”
Buliran bening itu meluncur begitu saja, pandai sekali Raka bermain peran, hingga selama bertahun-tahun. Berhasil mengelabui istri yang katanya satu-satunya wanita yang ia cinta. “Sudah berapa lama?”
“Menikah di Garut, 4 tahun yang lalu.”
4 tahun yang lalu??
Tiba-tiba kilasan memori kembali melintas, 4 tahun yang lalu, Raka minta izin ada tugas di Garut selama satu minggu. Dan selama satu minggu pula, Raka sulit dihubungi, bahkan pesan singkat Adhis pun terabaikan.
Yoga terdiam, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, ketika melihat Adhis menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia sangat tahu bagaimana kesakitan yang kini dialami sang atasan, karena Ibunya pun pernah mengalami hal serupa. Hingga akhirnya memilih berpisah, dan membesarkan Yoga seorang diri, karena tak sanggup dimadu.
“Bu, Anda baik-baik saja?” tanya Yoga prihatin.
Masih dengan posisi menelungkup, Adhis menggeleng, ia memang tak baik-baik saja, tapi protes pun tak sanggup, karena ia sadar diri dengan kekurangan yang ada pada dirinya.