POV Adhisty Putri Narendra.
Selepas pengakuan Mas Raka, aku tak tahu lagi harus seperti apa menyikapi rumah tangga kami, walau berusaha baik-baik saja, aku yakin diantara kami sudah tak akan bisa baik-baik saja seperti dulu. Kenyataan bahwa Mas Raka sudah menimang seorang anak dari istri yang lain, membuatku semakin tak berdaya. Memang benar, jika kami saling mencintai, tapi kami tetap dihadapkan pada takdir yang sangat mungkin mengoyak kebahagiaan kami.
Malam itu, aku masih mencoba bersikap seperti kami pada hari-hari biasa, kusiapkan makan malam untuknya, bahkan pakaian yang hendak ia pakai pun, masih aku pilihkan usai Mas Raka mandi sore.
“Terima kasih, sayang,” ucap Mas Raka, usai aku mengambilkan nasi beserta sayur dan lauk pauk.
Aku hanya mengangguk, menelan makanan yang susah payah aku kunyah, aku yakin Mas Raka pun demikian. Berkali-kali ia menatapku dalam diam, namun ku abaikan, karena aku masih tidak terima dengan kenyataan pahit yang ia suguhkan.
Usai makan, biasanya kami bercengkrama di ruang TV, aku paling suka Mendengar Mas Raka bercerita. Bagaimana kesehariannya di Rumah sakit, operasi apa saja yang ia lakukan, hingga detail persiapannya pun Mas Raka ceritakan. Karena itulah, rumah tangga kami tak pernah sepi, sebab kami selalu berusaha meramaikan suasana.
Kubereskan meja, dan mencuci perkakas makan yang baru saja kami gunakan, setelah itu aku segera berlalu, tak lupa pula kusiapkan wedang rempah yang selalu Mas Raka nikmati usai makan malam. Aku bahkan menarik tanganku ketika Mas Raka memintaku menemaninya seperti biasa, entahlah, tiba-tiba aku lelah, malas dan tak ingin membersamainya malam ini, entah seperti apa malam-malam selanjutnya.
…
POV Raden Raka Adhitama
Demi memberi kesempatan pada Adhis untuk sendiri, aku menahan diriku selama mungkin di ruang TV. Tempat kamu biasa bercengkrama dan bertukar pikiran, bahkan tak jarang kami bermesraan di sana, karena pada malam hari, tak ada ART di rumah kami.
Tangis dan amarah Adhis masih membayangi pikiranku, melihatnya hancur dan terluka, aku pun merasa lebih hancur dari dirinya. Cukup Allah yang tahu, betapa aku mencintainya, bahkan sejak pertama kali Gala mengenalkanku pada Adiknya tersebut.
Kuakui aku langsung jatuh cinta kepadanya, walau saat itu Gala mengatakan bahwa Adhis baru saja putus dari kekasihnya. Tapi tak masalah bagiku, aku akan berusaha mengambil hatinya secara perlahan.
Hampir setiap hari ada saja alasanku mendatangi rumah Gala, dan Gala pun tahu niatku, dia mendukung penuh keinginanku, agar Adhis bisa kembali ceria seperti biasa. Siapa sangka usahaku tak membutuhkan waktu lama, karena nampaknya Adhis pun menunjukkan tanda-tanda memiliki rasa yang sama denganku.
Kami berpacaran setahun sesudah aku mengenalnya, sikapnya yang manis, sopan, lembut dan ceria, membuatnya mudah menarik perhatian dari Ibuku. Ditambah Adhis adalah salah satu keturunan darah biru, membuat restu untuk hubungan kami pun semakin mudah didapat.