Menemukan seseorang yang telah terpisah sejak lama itu seperti menemukan sebongkah harta karun berharga. Namun, apakah rasanya akan sama, jika satu dari dua orang itu tak mengingat satu di antaranya? Hari ini Rama bertemu dengan orang yang telah lama mengisi pikirannya. Namun, belum sempat sebuah sapa diucapkan, dia sudah berlalu bersama deras air mata
“Kirana apa itu benar kamu? Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi.”
Dada sebelah kirinya berdebar lebih cepat dari biasa. Rama tersenyum kecil dan mengingat rasa ini beberapa minggu sebelumnya. Mungkin sekitar tiga minggu lalu, tepatnya, saat perusahan menugaskan untuk dikirim ke Jepang. Satu nama kemudian langsung diingat ketika mendengar negara itu, Kirana.
Bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang selama ini hanya bisa dipandang melalui foto? Begitu kata hatinya.
Matsumoto hotels, prefektur Nagano, Jepang. Tempat dimana Rama akan tinggal selama tiga bulan. Dia memandang layar ponsel dengan wallpaper foto Kirana dan menikmati setiap keindahan dari paras yang akan segera terwujud menjadi nyata. Tiba-tiba ponsel itu bergetar diiringi dering panggilan masuk dari Laras.
“Hallo Rama.” Suara dari jauh itu menyapa.
“Iya Teh, aku baru saja sampai,” jawab Rama.
“Syukurlah kalau kamu sudah sampai. Apa besok kamu sudah mulai bekerja?”
“Iya Teh, besok aku sudah mulai bekerja. Mungkin akhir pekan nanti aku baru bisa menemui Teteh.”
“Ok. Kalau begitu sekarang kamu beristirahat. Akhir pekan nanti teteh kirim alamat tempat tinggal teteh.”
Bibir Rama terasa kaku, ingin sekali pertanyaan mengenai Kirana dilayangkan. Namun, perbincangan singkat itu telah berakhir. Sebab panggilan dari Laras telah ditutup.
Kiki, Rana, atau Kirana. Tiga nama untuk satu orang yang sama dan selama ini Rama mencari sosok Kirana dengan panggilan Kiki. Entah, bagaimana dia mengubah panggilannya menjadi Rana. Namun, tanda jahitan di jidat kirinya memang menegaskan bahwa, Rana adalah Kiki yang dia cari selama ini.
***
Mata sembab terukir di wajah Rana. Jika Rana di Indonesia, bisa saja dia bolos dan meninggalkan pekerjaan. Kejadian semalam membuat batinnya tersakiti, dan mengembalikan sepi yang selama ini tertutupi.
Rana membuka pintu kamar Rei dengan pelan, dia masih tertidur. Rasanya tidak adil melibatkan anak sepolos dirinya karena kejadian semalam.
“Na-chan.”
Suara itu, ini pasti masih mimpi. Rana menoleh ke arah suara itu. Emosi kembali berkecamuk di hati. Semua masih bisa diredam sebelum emosi itu meluap. Hanya saja Rana harus segera pergi dan mengabaikan Akira.
“Gomen,[1]” ucap Akira.
Rana menundukkan kepalanya. Bukan apa-apa, dia hanya terus mencoba meredam amarah, terlebih Rei sedang beristirahat.
“Akira-kun.” Lirih itu terdengar.
Rei terbangun dari tidurnya.Senyum yang menyembunyikan semua kesakitan kembali ditunjukkan.
“Rei kamu sudah bangun?” Rana kembali dan membantu Rei untuk duduk.
Rana dan Akira berdiri pada sisi berbeda. Mereka berada diantara Rei. “Ureshii,[2]” Rei tiba-tiba berteriak dengan gembira.
“Unmei no akai ito[3]. Na-chan, apa kamu tau cerita tentang legenda itu?” tanya Rei.
Rana tersenyum kecil. Dia pernah mendengar cerita itu. “Cerita itu tentang sebuah takdir cinta kalau tidak salah?” kata hati Rana.