Iring-iringan pelayat tampak menghadiri pemakaman di area Tempat Pemakaman Umum yang tak jauh dari sebuah desa. Para pelayat yang tak seberapa itu berjalan mengikuti keranda yang dipikul empat orang pemuda dan berhenti di depan sebuah liang besar yang baru selesai digali.
Di samping liang, keranda itu diturunkan. Penutup keranda yang dilapisi kain berwarna hijau lantas dibuka. Tampak jasad yang kini tertutup kain batik panjang menutupi kain kafan yang menyelimuti tubuh yang sudah kaku itu. Seorang gadis muda terlihat menangis saat melihat jasad itu diangkat dan bersiap untuk dimakamkan.
"Zahra, kamu yang ikhlas, Nak. Doakan ibumu agar diterima di sisi Allah. Jangan buat beban ibumu dengan air matamu itu," ucap seorang ibu yang duduk di samping gadis muda yang menangis sambil menyeka air matanya.
Gadis yang berusia 23 tahun itu mengangguk dan menuruti ucapan wanita itu. Wajahnya yang basah dengan air mata perlahan diusapnya dengan sapu tangan. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha menahan air matanya agar tidak kembali jatuh. Tatapannya kini tertuju pada jenazah ibunya yang perlahan diletakkan di dalam liang.
Walau sudah berusaha untuk tidak menangis, tapi nyatanya air bening itu selalu mencari celah untuk keluar. Tanpa isakan, hanya tangisan tanpa suara yang sanggup dilakukannya, mengiringi kepergian sang bunda untuk selamanya.
Tanah basah perlahan menutupi jasad yang terbaring kaku dan mulai tertutup dengan diiringi sebait doa yang diucapkan untuk sang bunda. Doa yang menghantar kepergian untuk menghadap Sang Khalik. Doa dari seorang anak yang telah kehilangan kasih sayang, kehilangan tempat untuk berteduh, dan kehilangan tempat untuk mengadu.
Papan bertuliskan nama dari jasad yang sudah dimakamkan itu ditancapkan di atas tanah makam dengan diiringi taburan bunga warna-warni yang menutupi tanah merah. Satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman dan meninggalkan seorang gadis yang masih duduk di depan makam. Perlahan, gadis itu menyentuh papan pusara dan menciumnya. Air matanya kembali jatuh saat mengenang kebersamaannya dengan sang bunda untuk yang terakhir kali.
"Zahra, maafkan Ibu, Nak." Seorang wanita setengah baya tampak menangis sambil membelai lembut puncak kepala anak gadisnya.
"Ibu, jangan menangis lagi. Zahra akan menemani Ibu. Zahra tidak akan meninggalkan Ibu sendirian." Zahrana, gadis muda yang penurut. Tak pernah sekali pun dia membantah ucapan ibunya. Gadis yang selalu menjadi panutan di desanya.
Zahrana, gadis berusia 23 tahun itu tampak ayu. Wajah cantik nan polos ala gadis desa begitu melekat pada dirinya. Tak sedikit para ibu yang membandingan anak gadis mereka dengan dirinya. Di mata mereka, Zahrana adalah anak yang baik. Gadis penurut yang tidak pernah membantah ucapan ibunya. Gadis yang menjadi bunga desa karena kecantikannya yang alami.
Namun, semua itu tidak sebanding dengan kehidupannya yang harus merasakan kegetiran setiap kali melihat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk. Ya, ayahnya adalah seorang pemabuk ulung. Setiap pulang ke rumah, lelaki yang sudah tidak muda lagi itu selalu dalam kondisi mabuk. Tak hanya itu, perhiasan sang istri yang disimpan untuk masa depan anak gadisnya, harus diikhlaskan lantaran dicuri olehnya hanya untuk membeli minuman keras. Bukan hanya itu, uang yang disimpan di dalam lemari juga raib untuk dipakai modal berjudi.
Kebiasaan mabuk dan berjudi sudah menggerogoti hidupnya sejak tiga tahun yang lalu. Tepatnya, setelah sawah dan tanahnya habis disita rentenir karena tidak sanggup membayar hutang.
Sejak saat itu, kehidupan seorang Zahrana berubah drastis. Gadis manis yang bercita-cita melanjutkan kuliah di kota, harus kandas karena sudah tidak lagi memiliki biaya. Dengan terpaksa, dia dan ibunya harus bekerja keras untuk menghasilkan pundi-pundi uang demi mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Walau begitu, Zahrana tidak berputus asa. Dengan sepenuh hati, dia membantu ibunya bekerja menjadi buruh cuci di rumah salah satu tetangganya.
Hasil menjadi buruh cuci hanya bisa mencukupi kebutuhan makan selama seminggu. Itu pun kalau tidak diambil paksa oleh ayahnya. Terkadang, mereka bisa sedikit berhemat jika ada tetangga yang berbaik hati memberi mereka sedikit beras.
Dari hari ke hari, kebiasaan ayahnya semakin menjadi. Dia selalu pulang di tengah malam sambil mengetuk pintu rumah dengan kasar. Jika belum dibuka, dengan marahnya dia akan menendang pintu yang terbuat dari bahan triplek itu hingga berlubang. Bau alkohol seketika menyeruak begitu dia memasuki rumah. Di saat seperti itu, Zahrana dan ibunya memilih untuk mengunci diri di dalam kamar.
"Widya, mana makananku? Cepat buka pintu!" Lelaki itu mengetuk kasar pintu kamar Zahrana karena tahu istrinya bersembunyi di kamar anak gadisnya itu.
"Bu, jangan keluar! Biarkan saja Bapak begitu. Aku takut Bapak akan berbuat kasar lagi pada Ibu." Zahrana memegang tangan ibunya agar tidak keluar, tapi sekuat apa pun dia memohon, ibunya tetap memilih untuk keluar.
Walau kecewa, Zahrana tahu kalau semua yang dilakukan ibunya karena bakti terhadap sang suami. Bakti yang tak sepatutnya dibayar dengan sebuah tamparan.