Satu per satu tamu yang hadir dalam acara tahlilan tujuh hari kematian Widya mulai meninggalkan rumahnya. Acara yang diadakan berkat bantuan warga yang bahu membahu memberi sumbangan untuk membantu Zahrana sejak hari pertama ibunya meninggal. Hingga hari ke tujuh, tak henti warga sekitar memberikannya bantuan, entah berupa sedikit uang ataupun makanan.
Bagi mereka, Zahrana dan ibunya adalah orang yang sangat baik. Sejak dulu, Widya dikenal sebagai wanita yang pemurah. Sebelum jatuh miskin, dia sering membantu warga yang datang meminta bantuan kepadanya. Entah berupa uang maupun bantuan lainnya, dia akan dengan senang hati memberikan tanpa memaksa untuk segera dikembalikan.
Karena kebaikannya itulah, warga sekitar dengan senang hati membantu Zahrana. Mereka tahu, saat ini gadis itu sangat terpukul dengan kematian ibunya. Kematian karena perbuatan ayahnya yang bejat.
"Nak, kalau kamu mau, kamu boleh tinggal bersama Ibu."
Bu Rina, tetangga dekat yang sudah menemani Zahrana sejak kematian ibunya. Wanita paruh baya itu menawarkan diri untuk membantunya. Bukan tanpa sebab dia mengajak Zahrana, tapi karena rasa simpati pada gadis yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Hubungan mereka cukup dekat. Bahkan, dia sempat menggoda Zahrana untuk menjadi menantunya. Secara, dia mempunyai seorang putra yang bekerja di kota. Putra yang tak pernah datang mengunjunginya dan hanya mengirimkan uang yang cukup besar bagi orang desa sepertinya.
"Terima kasih, Bu, tapi aku akan tetap tinggal di rumah ini. Ibu jangan khawatir, aku baik-baik saja." Zahrana tersenyum seakan ingin menunjukan kalau dia telah mampu menghadapi cobaan yang baru saja menderanya.
Wanita itu hanya bisa menerima keputusan Zahrana. Dengan terpaksa, wanita itu kembali ke rumahnya dan meninggalkan Zahrana yang perlahan masuk ke dalam rumah.
Suasana rumah kembali sepi setelah tujuh hari rumahnya itu kedatangan tetangga yang datang melayat maupun sekadar berkunjung untuk menemaninya. Rumahnya sudah terlihat bersih dan diperbaiki oleh warga. Dan kini, dia harus kembali menjalani kehidupan seorang diri. Menjalani kehidupan tanpa ibu yang selalu memberinya semangat dan dukungan.
Zahrana duduk di atas kasur di mana dia dan ibunya sering berbaring bersama. Bantal guling yang sering dipakai ibunya, diraihnya dan dipeluk dengan air mata yang perlahan jatuh. Wangi tubuh ibunya masih bisa tercium, hingga membuatnya mengeratkan pelukannya.
Isakan tangis perlahan terdengar ketika kenangan bersama ibunya kembali teringat. Kenangan di mana mereka selalu bercanda dan tertawa bersama.
Zahrana membaringkan tubuhnya dan berusaha memejamkan mata yang sudah beberapa malam terjaga. Rasa lelah dan kantuk seketika mengganggunya, hingga membuatnya terlelap dalam pelukan bayangan sang bunda yang memeluknya erat.
Zahrana terlelap begitu nyenyak. Wajah cantiknya terlihat polos dengan segurat kesedihan yang masih tampak. Kulitnya yang putih bersih membuatnya terlihat seperti putri tidur yang sedang terlelap.
Malam semakin larut. Suasana desa terlihat sepi. Yang terdengar hanya suara binatang malam yang saling bersahutan.
Di depan jalan, terlihat sebuah mobil van berwarna hitam berhenti tak jauh dari rumah Zahrana. Posisi rumah Zahrana memang berhadapan dengan jalan utama. Perlahan, pintu samping mobil itu terbuka. Dua orang lelaki kemudian keluar setelah memerhatikan situasi yang menurut mereka sudah aman. Setelah memastikan situasi, mereka kemudian berjalan menuju rumah Zahrana dan berputar menuju pintu belakang.
Bagian belakang rumah Zahrana dibangun dengan semi permanen. Dapur yang berdiri dengan menggunakan bahan papan dengan pintu sederhana yang terbuat dari triplek membuat pintu itu dengan mudah dapat dibuka. Dan benar saja, dua orang lelaki yang mengenakan baju hitam dan penutup wajah terlihat memasuki ruangan dapur sambil mengendap-endap.
"Tunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam," ucap salah satu lelaki yang kemudian masuk ke dalam kamar di mana Zahrana sedang tertidur pulas.
Di depan pintu, lelaki itu masih sempat berdiri dan memerhatikan sekitar. Di atas meja, dia melihat satu toples kecil berisikan amplop hasil dari takziah warga yang datang melayat. Wajahnya seketika tersenyum dan kembali melihat Zahrana yang masih tertidur.
Perlahan, dia berjalan ke arah tempat tidur dan berdiri sambil memerhatikan Zahrana yang masih terlelap. Dari balik sakunya, dia mengeluarkan sapu tangan berwarna putih dan satu botol kecil cairan bening. Cairan itu lantas ditumpahkan sedikit demi sedikit di atas sapu tangan itu.
Lelaki itu kembali memerhatikan Zahrana. "Seharusnya dari dulu aku tidak membawamu ke rumah ini. Kamu hanyalah anak yang membawa kesialan pada rumah tanggaku. Seharusnya dari dulu aku sudah melakukan ini padamu."
Tanpa belas kasih, lelaki itu kemudian menutup hidung Zahrana dengan sapu tangan. Gadis itu terkejut saat hidungnya ditutup dengan paksa. Tubuhnya berontak ingin melakukan perlawanan, tapi nyatanya tubuhnya perlahan terdiam dengan mata yang sudah terpejam.