Aku menatap langit di atasku.
“Sebentar lagi mendung, huft.. kenapa dia belum datang?” ucapku dengan risau.
Dengan enggan aku berjalan pelan, sepelan yang aku bisa. Sesekali aku menatap ke belakang, berharap dia akan muncul dengan sepeda motornya yang sudah usang. Pakaian sekolahku sudah basah dengan keringat. Sejujurnya aku sudah lelah, aktifitas sekolah yang tadi aku jalani amat melelahkan. Aku meraih uang di sakuku. Sepuluh ribu rupiah, lebih dari cukup untuk menaiki angkot. Tapi..., aku memasukannya kembali. Ku seka keringat ku, mencoba menyisir rambut ku dengan ruas jariku.
“Dia pasti datang !”. Aku tersenyum dengan percaya diri.
Sudah sepuluh menit berlalu. Rintik hujan mulai turun. Harapanku perlahan pupus, Dia tidak datang.
“Ini jalan yang dia biasa lalui, kenapa dia tidak datang.”
Seketika hujan semakin deras. Aku tidak perduli, aku tetap saja berjalan. Membiarkan setiap tetes hujan membasahiku.
Ku pikir tidak ada salahnya hujan. Malah aku bersyukur, dengan hadirnya hujan, tidak ada seorang pun yang tau, air mataku mengalir.
Pikiranku berkecamuk. Tidak! Aku tidak terima! Aku berhenti dan menatap langit.
“Tuhan! Kau disana?, kau mendengarku?, jika dia memang takdirku maka buat dia hadir disini!” bentakku keras.
Seakan mengejek, hujan malah semakin deras, menusuk – nusuk wajahku.
“Sial..!” aku segera berlari, mencari tempat berteduh. Ku temukan ruko kosong yang sudah usang dan kotor. Aku berjongkok memeluk bahuku erat. Air mataku tidak terbendung lagi.
Pikiranku membawa aku di hari itu. Awal dari aku menyukainya.