Dua tahun lalu, hidup Riki begitu sederhana. Ia adalah anak petani dari kota kecil di Jawa Tengah, penuh semangat dan bangga bisa diterima di sebuah kampus ternama di Jakarta. Keluarganya mengantar dengan haru, menaruh harapan besar di pundaknya.
Saat tiba di ibu kota, ia memilih tinggal di sebuah kos sederhana di daerah Salemba. Di sanalah ia bertemu Veri, mahasiswa tingkat akhir jurusan sosiologi. Veri santun, cerdas, dan ramah. Ia menyambut Riki bak adik sendiri.
“Baru ya? Nggak usah sungkan. Di sini gue bisa bantu apa aja,” ucap Veri sambil menepuk bahu Riki.
Hari-hari pertama berjalan lancar. Veri banyak membantu Riki menyesuaikan diri. Ia sering mengajak Riki makan, membantunya mengurus administrasi kampus, dan mengenalkannya pada lingkungan sekitar. Riki yang polos merasa sangat beruntung punya teman sebaik itu.
Namun, tanpa ia sadari, Veri mulai menunjukkan sisi lain.
Suatu malam, mereka menonton dokumenter tentang dunia transgender dan waria. Veri berbicara panjang lebar tentang kekagumannya terhadap para waria.
“Gue suka banget sama mereka, Rik. Cantik, kuat, penuh percaya diri. Lo pernah ngobrol sama waria? Mereka jauh lebih jujur soal hidup daripada kebanyakan cewek.”
Riki hanya mengangguk. Ia tak tahu harus bilang apa.
“Kadang gue mikir, seandainya pasangan gue itu waria yang kalem, lembut, nggak ribet kayak cewek kebanyakan... Wah, gue pasti cinta mati.”
Kalimat itu melekat di kepala Riki.
**
Bulan demi bulan, Veri semakin intens mendekatinya. Ia membelikan Riki produk perawatan wajah, krim malam, bahkan bedak ringan.
“Buat muka lo aja. Biar nggak kusam,” katanya enteng.
Riki tertawa canggung, tapi tak menolak. Sekadar menghargai. Lalu, Veri mengajaknya ke salon.
“Coba facial. Sekali aja. Lo bakal ketagihan.”
Dan benar. Meski awalnya merasa kikuk, Riki menikmati sensasi perawatan itu. Tapi yang ia tak sadari, itu hanya langkah awal.
Veri mulai memperkenalkannya pada teman-temannya, para pecinta waria. Dalam forum-forum kecil, mereka bercanda, memuji tampang Riki yang katanya “sayang banget kalau tetap jadi cowok lurus biasa.” Mereka memberinya nama panggilan: “Rika.”
“Ayolah, lo udah punya modal. Tinggal dimanis-manisin dikit, langsung jadi favorit di komunitas.”
Riki tertawa, mencoba menolak, tapi Veri terus menggodanya. Ia mulai memposting foto Riki diam-diam, dengan filter feminin. Komentar pun berdatangan.
“Lucuuu...”
“Fix, calon waria idola.”
“Mau dong kenalan!”