Sudah sebulan sejak malam itu di stasiun. Riki kembali menjalani kuliahnya, lebih fokus dan tertutup dari sebelumnya. Ia menghindari keramaian, menolak ajakan dari teman-teman kampus, dan memutus semua akun media sosial yang pernah dikendalikan Veri. Ia ingin bersih. Ingin kembali menjadi dirinya sendiri.
Setiap pagi, ia bangun lebih awal, mencuci muka tanpa krim pencerah, memakai jaket dan celana longgar. Ia menghindari cermin terlalu lama. Cermin bisa jadi tempat muslihat, tempat bayangan yang tak dikenalnya muncul dan menantangnya lagi.
Veri pun terlihat berubah, lebih pendiam, lebih berhati-hati. Ia tak lagi mengatur penampilan Riki atau memanggilnya dengan nama "Rika". Tapi justru di situlah yang berbahaya. Ketika Veri tidak menekan, ia menyusup lewat simpati.
"Rik, lo lagi capek banget ya? Nih, gue buatin teh madu, kayak dulu lo suka," ucapnya suatu malam.
Riki mengangguk pelan. Ia mencoba tak terlalu lunak, tapi tidak tega menolak niat baik yang tampak tulus.
Hari-hari berlalu, dan Veri mulai membuka celah-celah kecil lagi.
"Nih, liat, waktu kita pesta dulu... Lo cantik banget, Rik. Eh maksud gue, anggun. Tapi masih maskulin, kok. Kayak aktor Korea gitu."
Riki tertawa hambar. "Udah, Ver."
Tapi pujian itu diam-diam menggoyangnya.
Veri tahu caranya bermain dengan emosi. Ia tidak frontal, tidak memaksa. Ia hadir sebagai teman, pendengar, penghibur. Dan perlahan, ia membawa Riki kembali ke jalan yang tak ingin ia tapaki.
Suatu malam, listrik kos padam. Hujan turun deras. Riki yang baru pulang dari kampus mendapati Veri duduk di lantai, lilin menyala kecil di dekatnya.
"Udah kayak zaman purba ya?" canda Veri.
Riki hanya tersenyum. Ia ikut duduk di sebelahnya.
Hening.
Veri menatap Riki lama, lalu berkata, "Lo pernah mikir gak, kenapa lo balik waktu itu? Karena kalau lo bener-bener yakin buat ninggalin, lo pasti udah di kampung sekarang."
Riki tak menjawab.
"Gue rasa... di dalam lo, ada bagian kecil yang nyambung sama gue. Sama dunia ini."
"Bukan, Ver," potong Riki. "Gue balik karena gue bingung. Tapi sekarang gue udah tahu. Gue mau tetap jadi diri gue. Cowok. Laki-laki."
Veri menatapnya dalam.
"Tapi laki-laki juga bisa lembut, bisa tampil cantik, bisa pakai eyeliner, bisa punya sisi feminin tanpa harus malu..."