“Aku menjadi mata di setiap benda - kuping di setiap dinding.”
Ki juru Mertani menemukan Kebo Wanabrang di bawah reruntuhan api kemarahan setelah padamnya goro-goro Jipang[1]. Bocah kecil itu berdiri di sana, di tepi Bengawan Sore, menjadi saksi beringasnya perang dan tumbangnya Arya Penangsang. Entah berapa usianya ketika itu, Ki Juru Mertani melarangnya memiliki ingatan-ingatan tentang masa lalu. Wanabrang mengiyakan meski belum memahami tujuan sebuah omongan.
Ki Juru Mertani mengajarkan banyak hal pada Wanabrang; menjadi mata yang menempel di banyak benda dan kuping yang menyatu pada dinding-dinding lawan. Di usia remajanya, Wanabrang telah menguasai banyak jurus bela diri, menguasai semua jenis senjata dan hebat ketika memainkan kata.
Wanabrang menjadi ahli mengelabui pikiran orang, menciptakan kegaduhan sekaligus bersembunyi di balik kerumunan. Pada akhirnya, dia mahir membuat kericuhan lalu berlari setelah mengambil keuntungan.
Suatu saat Ki Juru Mertani mengajaknya berkuda berkeliling tanah Mataram, bercerita sejarah dan asal-usul terbentuk kesultanan. Wanabrang khidmat mendengarkan, memahami semua pertanyaan dan memastikan dirinya paham pada tujuan Mataram. Saat cerita selesai, Ki Juru Mertani menghentikan kudanya, meletakkan tangan di atas pundak Wanabrang lalu berkata, "Kau kini menjadi telik sandi[2] Mataram."
Setelahnya, Kebo Wanabrang seperti burung bagi Mataram, terbang ke banyak negeri menjadi perpanjangan bagi mata dan telinga Ki Juru Mertani, berada di balik setiap huru-hara dan menciptakan banyak kemenangan bagi Mataram. Wadag[3] Wanabrang ada tapi tak terlihat, tersembunyi di bawah perhatian pada pekik prajurit, kekacauan dan kegembiraan orang-orang.
Cethe[4] berbalut candu di klembak menyan menjadi senjata Wanabrang yang menemaninya ke mana-mana. Senjata tak biasa yang mampu mendorong keluarnya banyak omongan dari lawan. Omongan setengah sadar memiliki lebih banyak kebenaran daripada jalan kekerasan. Dengan sedikit dorongan, rahasia-rahasia akan terhambur sebagai kebanggaan dan keluar tanpa paksaan.
Suatu ketika Ki Juru Mertani meminta Wanabrang untuk melupakan asal-usulnya dan tak bertanya apa-apa lagi. Sayangnya, Wanabrang tak memiliki kemampuan untuk melupakan. Semua kejadian yang dia alami membentuk catatan dan mengendap lekat di dasar ingatan.
Wanabrang adalah lelaki yang tak mampu menghapus ingatan dari dalam kepalanya.
ooOOoo
Pagi hari di pinggiran Kotagede - Mataram
Hamparan sawah di pinggiran Mataram masih diselimuti kabut tebal, aroma tanah basah menguar menari-nari di dinginnya udara pagi. Batang-batang ilalang di tepian pematang berwarna hijau segar, basah oleh sisa embun malam. Musim ini padi tumbuh subur, batangnya kokoh kuat dan bulirnya bulat padat. Tanah Mataram sedang menyebarkan kemakmuran pada penduduknya.
Wanabrang berjalan tak lebih dari lima puluh langkah di belakang Panembahan Senopati dan Ki Juru Mertani. Sengaja menjaga jarak pada batas tak dapat mendengar pembicaraan, tetapi masih sanggup bergerak cepat jika kedua tuannya membutuhkan.
Bertahun-tahun menjadi telik sandi Ki Juru Mertani, Wanabrang telah mendengar dan melihat banyak hal. Tetapi pantang baginya untuk mendengar pembicaraan tanpa diminta. Kehormatan yang dia jaga sekuat tenaga.
Tangan Wanabrang sedang mengusap ujung ilalang ketika kedua pembesar Mataram itu berhenti, mengubah posisi badan menjadi saling berhadapan. Di tengah kabut yang masih tebal, keduanya tampak berbicara tegang. Tidak seperti hari-hari biasanya, ada bahasa tubuh yang berbeda.
Ki Juru Mertani membalikkan badan, menatap lurus ke arah Wanabrang lalu memberikan isyarat tangan, “Tinggalkan kami berdua, kembalilah ke kota!”
“Sendiko, Ki,” Wanabrang menghaturkan hormat ke arah mereka berdua tanpa suara, melompat ke atas kuda lalu berbalik ke arah kota.
ooOOoo
Tepian sungai Progo, di waktu yang sama
Seperti inilah seharusnya pagi digambarkan; kabut turun menjadi embun, wangi tanah menguap di udara basah, gemericik air sungai dan harum humus sawah. Pagi di pinggiran kali Progo seperti sekeping surga yang dipamerkan.
Ki Mangir Wonoboyo dan adiknya Patih Rojoniti berjalan di sepanjang tepian sungai. Kabut tipis masih mengambang di atasnya, menari-nari di atas aliran air deras yang menabrak batu-batu, suaranya menenangkan seperti sekumpulan pendeta yang sedang membaca mantra. Pada kabut tipis dan deru suara sungai Progo, kedua pembesar Mangir itu menemukan ketenangan. Sungai inilah yang menjadi nadi bagi kemakmuran tanah perdikan peninggalan nenek moyang mereka.
Keduanya berhenti di tepi sungai yang membentuk tanah lapang dan berlapis batu-batu kecil. Ki Rojoniti membuat api lalu menjerang seteko kopi. Kakaknya menatap lurus ke arah tanah tinggi Sundoro-Sumbing. Dua gunung yang dengan senang hati mengirimkan kesuburan melalui derasnya aliran sungai.
Di ujung yang lain, aliran sungai bedog bertemu dengan sungai Progo, menciptakan muara dengan kesuburan tanah tak terhingga. Gunung Merapi memberikan benih subur tanahnya melalui sungai ini. Di antara kedua sungai itulah tanah perdikan Mangir berada.
Kalau tanah perdikan Mangir adalah surga, maka aliran sungai ini adalah nadi hidupnya.
“Sudah waktunya, Kangmas,” kata Rojoniti. Suaranya beriringan dengan gemericik aliran sungai.
“Masih terlalu pagi untuk kembali,” sahut Ki Mangir.
“Bukan tentang kaki kita, tapi tentangmu. Tanah perdikan Mangir membutuhkan ibu,” Rojoniti tertawa, Ki Mangir-pun demikian pula.
“Aku dahulukan Mangir daripada semua urusanku, seperti janjiku pada ayahanda,” lanjut Ki Mangir Wonoboyo. Di seberang batas sungai Bedog, dia melihat sesuatu yang lain; Mataram, kerajaan yang membuat pikirannya tak tenang. Di tapal batas tanah perdikannya, Ki Mangir Wonoboyo melihat hantu-hantu yang siap menancapkan kuku di tanah peninggalan nenek moyangnya.