Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #3

Bab 1: Kebo Wanabrang

“Aku menjadi mata di setiap benda - kuping di setiap dinding.”


Ki juru Mertani menemukanku di bawah reruntuhan api kemarahan setelah padamnya goro-goro Jipang. Aku di sana, di tepi Bengawan Sore, menjadi saksi beringasnya perang dan tumbangnya Arya Penangsang. Entah berapa usiaku ketika itu, di kemudian hari Ki Juru Mertani melarangku memiliki ingatan-ingatan tentang masa lalu. Aku mengiyakan meski belum memahami tujuan sebuah omongan.

Ki Juru Mertani mengajariku banyak hal. Menjadi mata, telinga, dan bersembunyi di ramainya kerumunan. Saat usia dewasa, beliau memberi penegasan padaku, Kau kini menjadi telik sandi Mataram.

Aku menjadi burung Mataram, terbang ke banyak negeri menjadi perpanjangan mata dan telinga Ki Juru Mertani. Aku berada di balik setiap huru-hara dan kemenangan Mataram. Wadagku ada tapi tak terlihat, tersembunyi di bawah perhatian pada pekik prajurit, huru-hara dan kegembiraan orang-orang.

Senjataku berupa Cethe dan sedikit candu. Senjata yang sangat membantu, omongan setengah sadar memiliki lebih banyak kebenaran yang diungkapkan dengan penuh kegembiraan. Dengan sedikit dorongan, rahasia-rahasia akan terhambur sebagai kebanggaan. Keluar tanpa paksaan.

Setiap waktu, aku menjadi mata di setiap benda dan kuping yang menempel di banyak dinding.

Ki Juru Mertani menyuruhku melupakan asal-usulku. Tapi ada yang beliau tidak tahu, aku tak memiliki kemampuan untuk melupakan. Semua kejadian seperti membentuk catatan dan mengendap lekat di dasar ingatan. Aku mampu mengingat apa saja dengan sekali lihat.

 

ooOOoo

 

Pinggiran Kotagede - Mataram, pagi hari.

Hamparan sawah di pinggiran Mataram masih diselimuti kabut tebal, aroma tanah basah masih menguar menari-nari di dinginnya udara pagi. Batang-batang ilalang di tepiannya hijau segar oleh sisa embun malam. Musim ini padi tumbuh subur, batanganya kokoh kuat dan bulirnya bulat padat. Tanah Mataram sedang menyuburkan kemakmuran pada penduduknya.

Aku berjalan tak lebih dari lima puluh langkah di belakang Panembahan Senopati dan Ki Juru Mertani. Sengaja menjaga jarak pada batas tak dapat mendengar pembicaraan, tetapi masih sanggup bergerak cepat jika mereka membutuhkan.

Bertahun-tahun aku mengabdi telik sandi Ki Juru Mertani, aku mendengar dan melihat banyak hal. Tetapi pantang bagiku untuk mendengar pembicaraan tanpa diminta. Kehormatan yang aku jaga sekuat tenaga.

Aku sedang mengusap ujung basah ilalang ketika mereka berdua berhenti, mengubah posisi badan menjadi saling berhadapan. Di tengah kabut yang masih tebal, keduanya tampak berbicara tegang. Tidak seperti hari-hari biasanya, ada bahasa tubuh yang berbeda.

Ki Juru Mertani tiba-tiba membalikkan badan, menatap lurus ke arahku lalu memberikan isyarat tangan yang artinya, “Tinggalkan kami berdua, kembalilah ke kota!”

Sendiko, Ki,” aku menghaturkan hormat ke arah mereka berdua, tanpa suara. Melompat ke atas kuda lalu berbalik ke arah kota.

Aku merasa, sesuatu yang besar akan terjadi.

 

ooOOoo

 

Tepian sungai Progo, di waktu yang sama.

Seperti inilah seharusnya pagi digambarkan; kabut turun menjadi embun, wangi tanah menguap di udara basah, gemericik air sungai dan harum humus sawah. Pagi di pinggiran kali Progo seperti sekeping surga yang dijatuhkan.

Ki Mangir Wonoboyo dan adiknya Patih Rojoniti berjalan di sepanjang tepian sungai. Kabut tipis masih mengambang di atasnya, menari-nari di atas aliran air deras yang menabrak batu-batu, suaranya menenagkan seperti sekumpulan pendeta yang sedang membaca mantra. Pada kabut tipis dan deru suara sungai Progo, kedua pembesar Mangir itu menemukan ketenangan. Sungai inilah yang menjadi nadi bagi kemakmuran tanah perdikan peninggalan nenek moyang mereka.

Keduanya berhenti di tepi sungai yang membentuk tanah lapang dan berlapis batu-batu kecil. Ki Rojoniti membuat api lalu menjerang seteko kopi. Kakaknya menatap lurus ke arah tanah tinggi Sundoro-Sumbing. Dua gunung yang dengan senang hati mengirimkan kesuburan melalui derasnya aliran sungai.

Di ujung yang lain, aliran sungai bedog bertemu dengan sungai Progo, menciptakan muara dengan kesuburan tanah tak terhingga. Gunung Merapi memberikan benih subur tanahnya melalui sungai ini. Di antara kedua sungai itulah tanah perdikan Mangir berada.

Kalau tanah perdikan Mangir adalah surga, maka aliran sungai ini adalah nadi hidupnya.

“Sudah waktunya, Kangmas,” kata Rojoniti. Suaranya beriringan dengan gemericik aliran sungai.

“Masih terlalu pagi untuk kembali,” sahut Ki Mangir.

“Bukan tentang kaki kita, tapi tentangmu. Tanah perdikan Mangir membutuhkan ibu,” Rojoniti tertawa, Ki Mangirpun demikian pula.

“Aku dahulukan Mangir daripada semua urusanku, seperti janjiku pada ayahanda,” lanjut Ki Mangir Wonoboyo. Di seberang batas sungai Bedog, dia melihat sesuatu yang lain; Mataram, kerajaan yang membuat pikirannya tak tenang. Di tapal batas tanah perdikannya, Ki Mangir Wonoboyo melihat hantu-hantu yang siap menancapkan kuku di tanah peninggalan nenek moyangnya.

Dengan banyak cara, Ki Mangir Wonoboyo telah menghindarkan Mangir dari cengkeraman Mataram.

Kopi telah panas terjerang, Ki Patih Rojoniti menuangkannya pada dua batok kelapa. Satu untuknya dan satu untuk Ki Mangir Wonoboyo. Keduanya duduk di batu besar. Setengah kaki mereka terendam di air yang mengalir.

Lihat selengkapnya