Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #4

Bab 3: Mata di Dinding Istana

“Rumah penguasa adalah hulu bagi tiap negeri. Pasanglah mata di sana.”

  

Matahari belum melewati titik paling tinggi ketika Wanabrang menyeberangi kali Bedog dan sampai di tanah perdikan Mangir. Memang benar kata orang, hari-hari di kali Bedog seperti menyesap sari pati bumi. Angin semilir, gemericik air dan suara burung seolah masuk ke dalam pori-pori, mengalir di urat nadi dan menetap tak mau pergi. Wanabrang menyegarkan diri dengan membasuh muka dan merendam kaki sebelum melanjutkan perjalanan ke arah pusat perdikan Mangir.

Jalanan Mangir tak berubah sejak pertama Wanabrang melewatinya. Kelokan, letak tanaman bahkan butiran debu dan susunan batunya seakan enggan pergi dan betah berada di tempatnya semula. Wanabrang hapal jumlah persimpangan jalan, letak semak belukar dan jenis tanaman yang ada di sisi jalan.

Di siang seperti ini, Wanabrang tahu berapa jumlah petani yang sedang menjaga padi, juga dengan siapa dia akan berpapasan di belokan yang akan dia lalui. Wanabrang mengenali jalanan Mangir seperti memahami urat nadinya sendiri.

Sapu Jagad berjalan pelan tak tergesa, masih ada waktu bagi Wanabrang untuk sesekali berhenti di warung pinggir jalan, menguping omongan dan memancing pembicaraan. Wanabrang berhenti setiap kali ada kerumunan dan segera berbaur menyatu dengan banyak orang. Banyak pembicaraan tetapi kegembiraan menyambut merti perdikan[1] menjadi obrolan semua orang. Wanabrang mencatat baik-baik semua yang dia dengar lalu melipatnya di dasar ingatan.

Butuh waktu setengah hari baginya untuk sampai di alun-alun di depan kediaman Ki Mangir Wonoboyo. Tempat yang menjadi tujuannya seperti perintah Ki Juru Mertani. Sapu jagad berhenti, Wanabrang menambatkan tali kekangnya pada sebatang pohon trembesi.

Dari tempatnya berdiri, Wanabrang dapat melihat komplek kediaman Ki Mangir yang terlihat besar, dikelilingi tembok bata berwarna putih yang tak terlalu tinggi. Tidak terlihat mewah tetapi memiliki lebih banyak ketenangan dibandingkan hiruk pikuknya istana Mataram.

Hari menjelang surup[2], cahaya matahari menjadi merah mengubah warna tanah di lapangan Mangir menyerupai genangan darah. Mangir berubah menjadi tempat yang berbeda. Suram, wingit[3] dan seakan memberi peringatan bagi orang asing yang baru tiba seperti dirinya.

“Mampir, Kang …,” suara ramah seseorang dari belakang Wanabrang. Pedagang minuman, sepertinya ronde dan wedang jahe, Wanabrang menebaknya dari aroma rempah yang menguar sampai luar.

Wanabrang tersenyum dan memutuskan untuk masuk ke warung kecilnya. Harum rempah semakin kuat tercium. Semakin benar omongan orang, Mangir adalah saripati bumi.

“Buatkan wedang rempah terbaikmu, Kang,” kata Wanabrang setelah duduk di kursi panjang sambil menyiapkan sebiji klembak menyan dan membalurinya dengan cethe. Wanabrang berniat bicara banyak dengan lelaki ini.

“Inggih, Kang,” lelaki itu tersenyum lebar, tangannya sigap menyiapkan ramuan lalu memasukkannya ke dalam teko besar dari tembikar. Dia menjerang semuanya di atas tungku kecil menggunakan arang. Bahkan uap arangnya memiliki bebauan.

“Arang dari batok kelapa, Kang. Aroma dan dan khasiat ajaibnya akan merasuk ke ramuan. Harum dan rasa segarnya pasti membuatmu ketagihan,” celotehnya sambil mengatur tungku, menata batok-batok arang dan menjaganya agar tetap menyala. Dia tahu Wanabrang memperhatikannya, pemilik warung itu sengaja memamerkan keajaiban arang kelapa pada ramuannya. Mereka menyebutnya “rahasia” ramuan. Rahasia yang dia pamerkan dengan rasa bangga.

“Tunggu sebentar sampai panas merata,“ sambungnya sambil duduk di seberang kursi yang ditempati Wanabrang. Mereka dipisahkan oleh meja setinggi dada, di atasnya bertumpuk macam-macam penganan. Wanabrang mengambil sebutir telur asin sebelum lelaki itu menawarkan. Mengupas dan menggigitnya separuh. Kuning telur telah berubah warna menjadi hitam kemerahan matang sempurna. Asinnya tercampur rata dengan rasa gurih, diikat sempurna oleh lelehan minyak dan langsung menempel nikmat di bibir dan lidahnya. Mangir, bahkan telur asinnya terasa istimewa.

“Ke mana tujuanmu, Kang?” tanya si pemilik warung, bibirnya merekah ramah dan matanya menatap Wanabrang dengan gembira.

“Berkunjung ke rumah saudara. Katanya Mangir akan ada pesta,” jawab Wanabrang sekenanya.

“Wah betul, Kang. Ini saat yang pas buat bersenang-senang di Mangir. Kurang dari satu bulan lagi, dan kegembiraan sudah dimulai beberapa hari ini,” lelaki ini seperti melonjak oleh sulutan berita pesta. Wanabrang semakin memahami, merti perdikan adalah acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh rakyat Mangir. Menjadi ajang berkumpul dan saling mendekatkan diri. Bagi para pedagang, merti perdikan seperti puncak bagi mengalirnya uang. Wanabrang menatap lelaki itu, memberinya dorongan untuk mengumbar omongan.

“Seluruh rakyat Mangir akan berkumpul. Makanan dan minuman tersaji di sepanjang jalan. Kau bisa memilih sepuasnya. Dan yang terpenting adalah puncak acara, biasanya pertunjukan wayang dan diakhiri pagelaran tayub kesukaan Ki Wonoboyo,” dia mulai bercerita banyak hal. Matanya membulat senang.

Wanabrang telah selesai memilin Klembak menyan berbalut cethe, dia berdiri lalu memberikannya pada si pemilik warung, “Ini klembak Menyan dari tanah jauh, Kang. Dari tembakau pilihan dibalut daun jagung berbalut madu dan rempah yang dikeringkan. Kita isap sambil berbincang panjang. Aku akan lama di warung ini, menunggu malam dan datangnya jemputan.”

“Terimakasih, Kang,” lelaki itu menerima klembak menyan dari tangan Wanabrang, mendekatkan ujungnya pada api lampu teplok lalu menghisap dan menghembuskannya kuat-kuat. Suaranya lepas puas seperti lenguhan sapi. Matanya semakin menampakkan kegembiraan. Perlahan, cethe yang membalut klembak menyan akan bekerja. Pelan tapi pasti.

“Klembak menyan dari tanah jauh. Harum rempahnya menyegarkan, cocok dengan wedang jahe-ku,” matanya memicing, lubang hidungnya mengecil menahan aroma klembak agar tak banyak keluar percuma. Wanabrang menyalakan klembaknya yang tanpa cethe berisi candu. Dia menjaga kesadarannya.

Racikan tembakau dan rempah-rempah Wanabrang memang luar biasa. Bertahun-tahun dia mempelajarinya, memilih tembakau dan membuat campuran sampai mendapatkan rasa terbaik. Lalu klobot[4] pembungkusnya dia rendam pada ramuan rempah dan madu sebelum dikeringkan dengan besutan di atas loyang panas. Loyang tipis itupun telah direndam bumbu rempah setiap hari sebelum dipakai. Wanabrang belum pernah menemukan rasa klembak sehebat racikannya.

Lihat selengkapnya