Selepas surup, lampu-lampu teplok[1] dan obor besar di rumah Ki Mangir menyala terang. Pendopo rumah menjadi tempat paling benderang, di sanalah biasanya tamu-tamu datang. Di Mangir, malam datang dalam bentuk remang-remang dan ketenangan. Suara hewan malam melebihi kerasnya langkah kaki dan teriakan orang-orang.
Hanya terlihat Ki Mangir Wonoboyo dan adiknya Ki Patih Rojoniti di bagian tengah pendopo. Ki Mangir duduk di kursi yang alas dan sandaran punggungnya terbuat dari jalinan rotan, penahan tangannya dari kayu jati berwarna coklat dengan ukiran bunga teratai di kedua ujungnya. Empat buah kursi diatur simetris dengan meja panjang di tengah sebagai pemisah. Ubi rebus yang uapnya masih menari-nari, bermacam jajanan dan seteko kopi tersaji di atas meja.
Ki Patih Rojoniti duduk di seberang Ki Mangir, memperhatikan gerak sikap dan perubahan wajah sang kakak yang berusaha ditutupi sejak pagi. Ikatan kuat di antara keduanya membuat mata awas Rojoniti masih mampu melihatnya.
“Aku melihat ada sesuatu yang menggelisahkan hatimu, Kangmas …,” kata Ki Patih Rojoniti hati-hati.
“Semalam aku bermimpi. Biasanya aku melupakan mimpi dalam sekejap, tapi mimpi ini tak mau pergi. Terus melekat …,” Ki Mangir menghentikan omongannya lalu meraih cangkir dan menuangkan kopi panas dari tekonya. Uap dan aromanya menguar memenuhi ruangan. Ki Patih Rojoniti menatapnya, tak ingin menyela kata-kata Ki Mangir.
“Dalam mimpiku datang seekor burung merpati, masuk ke dalam rumah di pagi hari. Cantik, bulunya putih melebihi putihnya kapas, halus melebihi halusnya sutra. Di kepalanya ada mahkota dengan butiran-butiran mutiara. Entah berapa jumlahnya, sinarnya menyilaukan mataku. Melihat merpati itu, seperti ada badai kesenangan yang menghantamku. Aku merasa tentram tenang,” lanjut Ki Mangir.
“Kata orang tua, merpati pertanda jodoh yang akan tiba. Merpati cantik dengan kilau mutiara, pasti seperti itulah jodoh Kangmas,” Rojoniti tak dapat menyembunyikan senyumnya. Tapi raut wajah Ki Mangir masih sama, ada kegelisahan di sana, memaksa Rojoniti menghentikan seyumannya.
“Bukan itu yang menggelisahkanku. Ada hal lain yang datang bersama burung merpati bermahkota itu …,” Ki Mangir kembali menjeda. Rojoniti melihat banyak kegelisahan dan memilih bersikap diam.
“Aku lihat puting beliung besar, berputar-putar di lapangan depan rumah. Menari-nari seperti menunggu kembalinya burung merpati,” lanjut Ki Mangir, “Aku terbangun dengan keringat dingin di sekujur badanku. Mimpi itu melekat di pikiran sampai sekarang.”
ooOOoo
Wanabrang memasuki gerbang rumah Ki Mangir tepat ketika lampu-lampu teplok dan obor-obor besar dinyalakan. Rumah Ki Mangir benderang, menjadi penanda sebagai pusat kegiatan. Ki Kartolodro menahannya beberapa depa setelah melewati pintu gerbang.
“Itu Ki Mangir Wonoboyo dan adiknya, Ki Patih Rojoniti. Kita tunggu sampai mereka berdua selesai dengan urusannya,” ibu jarinya menunjuk hormat ke arah pendopo yang terbuka. Wanabrang melihat dua orang sedang berbicara. Lelaki yang duduk di kursi utama pastilah Ki Mangir Wonoboyo. Badanya tinggi langsing berotot. Kumis tebalnya melintang menambah gagah dan wibawanya. Bahkan dari kejauhan, Wanabrang bisa merasakan auranya. Ki Patih Rojoniti bertubuh tinggi besar melebihi kakaknya, bahunya kokoh dan dadanya membusung lebar.
“Kita duduk di sini. Menunggu sampai urusan mereka selesai,” sambung Ki Kartolodro sambil duduk bersila, tepat di bagian pinggir jalan utama. Wanabrang mengikutinya, mengambil tempat setengah badan di belakangnya.
“Ingat baik-baik, tugasmu di sini adalah menjadi peracik klembak menyan[2]. Siapkan klembak terbaikmu, nanti Ki Mangir dan Gusti Patih Rojoniti sendiri yang akan mencobanya,” pesan Ki Kartolodro setengah berbisik. Wanabrang segera mengambil sekotak klembak, di dalamnya berisi enam klembak terbaiknya.
“Klembak-klembak terbaikku telah aku siapkan, Ki,” bisik Wanabrang sambil memperlihatkan enam klembak yang tertata rapi di kotak kayu.
“Berdoalah kalau itu memang benar-benar klembak terbaik. Pintu masukmu ke rumah ini hanya klembak itu.”