Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #6

Bab 5: Klembak di Dapur Mangir

Bagi banyak orang, mengabdi dan menjadi bagian dari abdi dalem Mangir menjadi impian dan kehormatan. Bangun pagi dimulai dengan keteraturan, tingkah laku ditata, tata krama dijalankan dan detil kecil diperhatikan. Pagi sampai malam hari memiliki keseragaman yang mudah dihapalkan.

Sejak pertama menjadi abdi dalem, Wanabrang memulai hari dengan kebiasaan yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tak sulit bagi Wanabrang, dia telah terlatih untuk mengalih rupa menjadi apa-apa yang dibutuhkannya. Hidup di jalanan memberinya kebahagiaan pada kebebasan, berada di kediaman Mangir memberinya kesenangan dalam bentuk keteraturan.

Tugas utamanya hanyalah meracik dan menyiapkan klembak untuk Ki Mangir dan para tamu, selebihnya membantu para juru masak memeriksa mutu rempah untuk bumbu dapur. Meracik klembak, membuat ingatannya kembali ke masa awal pengabdiannya sebagai telik sandi bagi Ki Juru Mertani. 

 

ooOOoo


Klembak Menyan

Bertahun-tahun yang lalu–saat pertama kali menjadi telik sandi–ki Juru Mertani menyuruh Wanabrang menjadi cantrik[1] bagi salah satu telik sandi utama ke tanah Banten. Ki Brojomolo nama telik sandi itu, perawakannya sedang, pandai berdagang dan kemampuannya melihat hal-hal kecil sangat mengagumkan. Sesuatu yang luput dari perhatian orang, Ki Brojomolo sanggup merangkai dan menjadikannya sebagai senjata yang mematikan. Dari telik sandi itulah Wanabrang mempelajari banyak hal.

“Perhatikan detil kecil,” katanya, “dari pikiran kecil, rencana besar berawal. Tugasmu kelak mencari dan menyusun potongan yang seperti tak berguna menjadi senjata.” Nasehat Ki Brojowali yang diingat Wanabrang sampai sekarang.

Di tanah Banten Wanabrang menjumpai banyak keajaiban yang belum pernah dia temui di bumi Mataram. Lalu-lalang para pedagang dari negeri seberang dan yang membuatnya tercengang adalah pertemuannya dengan orang-orang berkulit putih dari tanah seberang. Tubuh mereka tinggi besar dan kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya sewarna jagung dan warna mata mereka terlihat menakutkan.

“Belajarlah dari mereka, orang-orang itu memiliki banyak keajaiban. Tapi selalu hati-hati, pasang mata dan selalu waspada. Jangan sekalipun kau percaya pada mereka. Konon mereka berasal dari negeri di mana semua sumber celaka berasal,” pesan Ki Brojowali. Ki Brojowali telah akrab dengan orang-orang putih itu. Dia tak kaku berdagang banyak barang dan menghabiskan banyak waktu untuk bersenang-senang bersama mereka.

Di Mataram, orang-orang terbiasa menikmati tembakau sebagai susur[2]; mencampurnya dengan kapur, sirih dan pinang lalu mengunyahnya sebagai teman di kala senggang. Dari orang-orang putih Wanabrang mengenal cara menikmati tembakau dengan cara dibakar. Untuk pertama kalinya dia tahu nikmatnya asap tembakau. Dari merekalah Wanabrang belajar cara menilai tembakau terbaik dan mengenal klembak menyan, yang konon hanya bisa dinikmati oleh para raja, bangsawan dan kaum terpandang. Wanabrang mempelajari semuanya dengan sungguh-sungguh.

Sekembalinya ke Mataram, Ki Brojowali mengajarinya dan dengan kesabaran memberikan catatan pada klembak buatan Wanabrang.

Ki Brojowali meninggalkan Mataram setelah Wanabrang menjadi ahli meramu klembak. Pada pertemuan terakhirnya dengan Wanabrang, telik sandi utama itu berpesan, “Datanglah ke Losari di lereng Gunung Sumbing. Carilah Kemloko, kau akan mendapatkan tembakau terbaik yang pernah dikenal dunia.”

Wanabrang menuruti kata-katanya, dia pergi ke lereng Sumbing dan menemukan tembakau terbaik seperti yang dikatakan Ki Brojowali. Tembakau jenis Kemloko, tumbuh asli dari tanah Sumbing. Konon adalah anugrah yang disampaikan melalui kewaskitaan Sunan Kudus. Mereka menamakannya mbako Srintil[3], tembakau yang harus dipetik oleh anak gadis perawan.

 

ooOOoo

 

Istana Mataram

Tersiar kabar tentang kedatangan orang-orang dari Banten. Isu menyebar tentang maksud kedatangan mereka, sebagian besarnya berasal dari prasangka lalu membesar menjadi rasa curiga. Panembahan Senopati dan Ki Juru Mertani berhati-hati membicarakannya.

“Di mana lokasi mereka sekarang, Ki?” tanya Panembahan. Sama seperti pamannya, pada suasana apapun wajah Panembahan tetap datar, tenang dan tak terlihat riak.

“Tiga empat hari sebelum mencapai tapal batas Mataram, Gusti,” jawab Ki Juru Mertani, “banyak berita datang, simpang-siur dan menurutku bisa menyesatkan kita tentang dasar benarnya.”

“Carilah kebenarannya, aku tak mau gegabah dan salah mengambil langkah. Mataram tak membutuhkan musuh saat ini.”

Panembahan Senopati dan Ki Juru Mertani sangat berhati-hati memperlakukan daerah-daerah bawahan Mataram. Bersikap baik jauh lebih mudah daripada menanggung akibat permusuhan. Pada posisinya yang sekarang, Mataram berusaha sebisa mungkin tidak mengorbankan nyawa dan benda. Jalan Mataram masih panjang, ke depan masih membentang rintangan terjal.

“Telik sandi-ku hanya bisa melihat dari kejauhan, belum bisa memastikan maksud mereka. Aku sendiri masih menerka-nerka tujuan kedatangan mereka. Prajurit Banten itu bersenjata lengkap layaknya pasukan yang hendak berperang, tetapi jumlah mereka hanya layak sebagai pengawal utusan. Aku belum berani mengambil kesimpulan,” panjang kata-kata Ki Juru Mertani, “beberapa telik sandi menduga mereka hendak memberi pengakuan pada Mataram, tetapi Aku lebih memilih untuk waspada pada kedatangan mereka.”

“Apa usulmu, Ki?” tanya Panembahan.

“Aku akan kirim utusan resmi, senyampang mereka masih jauh dari tapal batas Mataram. Kita pastikan tujuan mereka, sembari menyiapkan diri menghadapi semua kemungkinan. Baik atau buruk,” jawab Ki Juru Mertani.

Panembahan mengangguk, “Persiapkan orang-orangmu dan segera kirimkan utusan ke sana.”

Tak lama Ki Juru Mertani keluar dari istana. Bergerak ke sana-kemari mengumpulkan dan mengatur para prajuritnya lalu meloncat ke atas kuda dan menghelanya. Kudanya melaju seperti diburu hantu.

 

ooOOoo

Lihat selengkapnya