Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #7

Bab 6: Berita-Berita

Tengah hari selepas makan siang dan semua urusan telah selesai, satu persatu para juru masak pergi dari dapur. Meninggalkan Wanabrang yang masih meneruskan pekerjaannya membuat kotak-kotak kayu untuk rempah dan bumbu.

“Istirahatlah, Kang. Mumpung pekerjaan siang sudah selesai,” kata Yu Girah, salah satu juru masak yang badannya menyerupai Mbok Nem, sebelum pergi.

“Istirahatlah dulu, Yu. Aku teruskan pekerjaanku,” sahut Wanabrang, tangannya sibuk memilin dan menata sesetan bambu. Wanabrang tak berniat meningalkan dapur, dia menunggu kelebat Mbok Nem yang biasanya datang di tengah siang, memeriksa banyak tempat dan memastikan semuanya baik-baik saja.

Benar saja, tak menunggu lama Wanabrang mendengar langkah kaki yang terdengar berat, derapnya pendek dan lambat.

Mbok Nem, Wanabrang telah mengenali suara kakinya.


ooOOoo


Laju kuda Ki Juru Mertani berhenti tepat di gerbang pendopo kraton, dia segera meloncat turun dan menghambur menuju tempat Panembahan berada. Gerakannya cepat, bahkan para prajurit penjaga belum sempat menghaturkan hormat dan mengubah gerak tubuh ketika Panembahan lewat.

“Ada apa, paman?” tanya Panembahan Senopati setelah mereka berhadapan.

“Celaka, Gusti! Raden Ronggo membuat ulah lagi,” jawab Ki Juru Mertani, “dia mencegat utusan yang hendak menemui orang-orang Banten. Memporak-porandakan dan mencelakai kuda-kuda mereka.”

“Kemana arah perginya anak itu sekarang?” berubah wajah Panembahan, dia membaca tanda akan timbulnya bahaya dari tindakan putranya.

“Menuju ke arah orang-orang Banten berada. Dia berani menyuruh utusan resmi Mataram untuk kembali ke istana dan mengambil alih urusan. Aku khawatir dia bertindak keras pada rombongan Banten. Anak itu tak pernah memahami arti diplomasi, kepentingan panjang Mataram tidak pernah ada di pikirannya,” panjang ucapan Ki Juru Mertani. Batas sabarnya sudah habis, rencana-rencana yang disusunnya dengan hati-hati sekarang rusak oleh tindakan serampangan.

“Utusan Mataram sudah aku perintahkan kembali menemui orang-orang Banten. Tugas mereka sekarang memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh Raden Ronggo,” lanjut Ki Juru Mertani. Dia sudah memiliki keyakinan, apapun yang dilakukan oleh Raden Ronggo akan berakhir dengan kerusakan.

Tindakan seenaknya dari Raden Ronggo mengambil alih tugas utusan resmi Mataram adalah tindakan yang luar biasa kurang ajar. Jika saja dia bukan putra Panembahan, Ki Juru Mertani tak akan segan-segan untuk menganggapnya sebagai usaha pemberontakan dan mengirimkan pasukan untuk menumpasnya.

Panembahan menarik nafas berat. Dia menyadari tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mencegah Raden Ronggo, dan tindakan Ki Juru Mertani adalah tindakan terbaik yang bisa mereka lakukan.

“Kita hanya bisa menunggu, Paman. Tindakanmu sudah benar. Kirimkan prajurit tambahan, tugaskan untuk mengawal orang-orang Banten sebagai permintaan maaf Mataram. Semoga tindakan ini bisa meredam masalah yang mungkin datang,” perintah Panembahan. Ada warna merah di wajahnya, bahkan sikap tenangnya tak mampu menyembunyikannya. Dia menyadari, tindakan mencelakai utusan Mataram setara dengan pemberontakan.

“Sendiko, Gusti. Aku akan lakukan apa saja untuk memperbaiki urusan ini,” sambung Ki Juru Mertani.

Tak ada banyak waktu lagi, Ki Juru Mertani segera meninggalkan pendopo kraton dan mengatur banyak strategi. Bersama kudanya dia berlarian kesana-kemari seperti dikejar hantu.

 Kali ini bukan hanya satu, tapi seribu hantu.

 

ooOOoo

 

Mbok Nem membawa banyak sekali penganan. Meski sering melakukan perjalanan ke Mangir, Wanabrang tak menyangka masih banyak penganan khas mereka yang belum pernah dia rasakan. Mataram terkenal dengan banyak olahan dari pohon kelapa, sedangkan Mangir berlimpah dengan olahan dari ketan dan padinya.

Wanabrang dan Mbok Nem duduk selonjor di atas lincak[1] besar beralas tikar pandan. Tubuh besar mbok Nem membuat lincak sedikit melengkung ke arah bawah menahan beban tubuhnya. Mereka duduk berseberangan, dibatasi oleh banyak penganan yang dijajar di bagian tengah lincak.

“Penganan-penganan ini yang membuatku makin subur, Cah Bagus …,” Mbok Nem terkekeh sambil terus mengunyah, Wanabrang jadi ragu untuk siapa penganan-penganan itu dia bawa. Mbok Nem memanggilnya Cah Bagus tanpa pernah bertanya namanya.

Selesai dengan banyak kunyahan, Mbok Nem mengalihkan kegiatannya pada kotak kinang. Dia mencampurkan njet[2], kinang dan sirih ke gulungan kecil cacahan tembakau srintil pemberian Wanabrang.

“Aku coba tembakau pemberianmu,” sambung Mbok Nem, Wanabrang membalasnya dengan senyuman.

Lihat selengkapnya