Tenda prajurit Banten
Hampir semua prajurit kawal utusan Banten telah terjaga, beberapa terlelap setelah selesainya tugas mereka. Lelaki tua yang sepertinya adalah duta utama tidak tampak, tapi bayangannya di dalam tenda utama memperlihatkan kesibukan yang tak biasa.
Api unggun besar sedang dinyalakan, di bagian atasnya dijerang seteko besar kopi dan gumpalan-gumpalan daging panggang. Para prajurit duduk berkeliling di sekitarnya, mencari kehangatan di tengah dingin yang menggigit tulang.
Permainan dan penganan ala kadarnya ada di antara mereka. Sementara senjata-senjata telah ditanggalkan dan diletakkan berjajar pada bagian yang lain. Prajurit-prajurit ini sedang melepaskan lelah. Sesekali terdengar derai tawa dan pembicaraan di antara mereka.
Keheningan pecah ketika tiba-tiba sesuatu menghantam api unggun, membuatnya berhamburan buyar berkeping-keping. Api unggun pecah berantakan, apinya berterbangan dan beberapa prajurit terluka oleh siraman air panas yang tumpah dan menyebar ke mana-mana. Serempak, digerakkan oleh sikap waspada, mereka menuju senjata masing-masing dan siap siaga membentuk barisan. Sang komandan memerintahkan empat orang prajuritnya untuk menjaga tenda utama.
“Lindungi duta kita, jangan biarkan siapapun mendekati tenda utama!” Perintah sang komandan pada dua orang anak buahnya. Matanya bergerak waspada, mencari-cari penyebab kekacauan.
Terang api yang tiba-tiba hilang membuat matanya menjadi buta. Sekejap, setelah terbiasa dengan gelap, dia dapat melihat sebongkah batu besar berada di tengah api unggun. Seseorang telah melemparkan batu itu tepat ke tengah-tengahnya. Matanya mengernyit. Melempar batu sebesar itu, manusia macam apa yang mampu?
“Formasi melebar!” Teriaknya. Para prajurit segera bergerak cepat membentuk formasi baris sejajar. Komandan tidak ingin mereka berada pada satu titik yang akan menjadi sasaran empuk bagi lemparan batu. Mata semua prajurit mencari-cari sumber batu yang telah menghancurkan api unggun mereka. Sepi, tak ada suara apapun.
“Siapapun yang telah merusak api unggun kami, keluarlah! Apa maumu?” teriak Komandan. Tak ada sahutan. Masih sepi. Para prajurit hanya bisa siaga dengan kaki terpaku. Lawan mereka tak terlihat, tertutupi oleh gelap dan rimbunnya pepohonan. Entah manusia atau hantu.
Memang benar, sunyi adalah senjata perusak nyali.
ooOOoo
Laju kuda utusan Mataram berhenti di pintu masuk pedukuhan ketika menemukan empat tamannya setengah berlari. Mereka terseok-seok oleh rasa lelah dan segera menghentikan langkahnya setelah mengetahui teman mereka telah datang. Seekor kuda pincang menemani mereka, nyaris tak bisa apa-apa bahkan setengah mati menyokong tubuhnya sendiri.
“Ki Juru Mertani mengirimkan pasukan tambahan. Misi kita telah berubah, Ki,” lapornya. Napasnya terengah-engah, “Kita ditarik pulang setelah pasukan tambahan datang dan menggantikan tugas kita.”
Sang komandan menarik napas lesu. Dia merasa gagal menjalankan tugasnya, Raden Ronggo telah menghancurkan semuanya.
“Tak ada kuda, kita tak mampu menyusul Raden Ronggo …,” ucapnya terdengar putus asa. Anak buahnya yang ditugaskan mencari kuda pengganti-pun gagal. Pedukuhan yang dia temukan hanyalah pedukuhan kecil dan miskin. Hanya ada domba, kerbau dan sedikit sapi di sana. Tak ada pilihan lain, mereka berhenti di jalan ini, berharap pasukan pengganti melewati jalan yang sama.
“Kita berhenti di sini, menunggu pasukan pengganti datang,” perintah sang komandan. Moral mereka runtuh, harga diri mereka telah jatuh.
ooOOoo
Sebentuk bayangan keluar dari balik kegelapan. Mendekat pelan, bayangannya besar setinggi pohon kelapa. Para prajurit Banten gemetar, berusaha tegak di atas kakinya. Sang komandan maju setengah langkah, mencoba memberi tambahan nyali pada anak buahnya.
Bayangan itu semakin dekat, berubah menjadi sesosok laki-laki gagah. Ketakutan membuat bayangannya terlihat setinggi raksasa. Sunyi tak ada yang bersuara, bahkan sang Komandan seperti tercekat tenggorokannya. Sekitar tenda terlihat gelap, hanya sedikit sisa api unggun yang menjadi sumber cahaya.
“Aku Raden Ronggo, putra pertama Mataram, meminta kalian segera angkat kaki, putar badan dan kembali ke tempat asal kalian!” Bayangan itu berhenti, memperkenalkan diri dan menyuruh mereka pergi. Tanpa basa-basi. Suaranya berat penuh keangkuhan tanpa kompromi.
Sang Komandan berusaha mengatur nafas dan bicara, “Kami datang dengan perintah damai, memperkenalkan diri dan …,” suaranya terputus, berganti oleh lolongan panjang. Sebentuk batu kecil menyambit dan mematahkan kakinya. Komandan itu segera jatuh terjerembab.
Tanpa menunggu aba-aba, tiga prajurit di sampingnya segera menyerang dengan kalap. Kilau senjata berkelebat mengarah ganas ke tubuh Raden Ronggo . Hanya dua tiga langkah sebelum ketiganya terguling, jatuh terjerembab dengan cara yang sama. Tersambit batu dan patah kakinya.
Prajurit lainnya terdiam membatu, ragu-ragu dengan langkah berikutnya. Mereka paham dengan kehebatan orang yang sekarang menjadi lawan mereka. Sunyi lagi tak ada suara.
Tiba-tiba seseorang datang, “Aku Arya Kusuma, utusan Banten.”
Tubuh kecilnya menyeruak dari balik prajurit yang membeku. Diiringi dua orang pengawal yang menjaga tenda utama. Nyali lelaki kecil ini jauh melebihi ukuran tubuhnya.
“Kembalilah, Aku putra pertama Mataram tak menghendaki kedatangan kalian,” tegas suara Raden Ronggo . Tak ada keramahan. Sifat tinggi hati dan brangasannya semakin tak terkendali.
Arya Kusuma berusaha mengira-ngira lelaki di depannya. Sia-sia, dia hanya melihat bayangannya.