Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #9

Bab 8: Rencana di Puncak Murka

“Puncak murka menjadi tempat tak tepat untuk bicara.”


“Entah apa yang ada di kepala putraku, setan apa yang sudah merasukinya sampai berani bertindak di luar batas kuasanya. Tidakkah dia paham, mencelakai utusan resmi Mataram setara dengan pembangkangan pada Mataram?” Berapi-api suara Panembahan Senopati. Ki Juru Mertani diam mendengarkan. Keduanya sedang diamuk murka karena tindakan gegabah Raden Ronggo.

“Sebaiknya kita tidak mengambil keputusan apapun, Gusti. Kita berdua sedang berada di puncak murka, tetapi menunggu benarnya berita akan membuat keputusan kita menjadi lebih bijaksana. Masa depan Mataram sedang dipertaruhkan, jalan lapang atau terjal akan ditentukan keputusan kita,” Ki Juru Mertani berusaha menenangkan hati keponakannya. Bagaimanapun juga, dia masih memiliki kemarahan yang luar biasa pada Raden Ronggo .

Panembahan menarik napas panjang. Menuruti kata-kata pamannya adalah hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini. Matahari mulai meninggi dan Raden Ronggo belum muncul apalagi terdengar beritanya. Panembahan dan Ki Juru Mertani tenggelam oleh pikiran masing-masing, berusaha menekan rasa marah yang sia-sia.

“Raden Ronggo memiliki kemampuan olah kanuragan yang luar biasa, biarkan hamba yang mengarahkannya,” lanjut Ki Juru Mertani memecah jeda, “bagaimanapun juga, aku adalah kakeknya.”

“Aku serahkan dia padamu, didik dan arahkan dia sesukamu. Lakukan apa saja yang diperlukan agar tak membahayakan Mataram di masa depan. Aku akan segera bicara padanya.” Panembahan tak bicara apa-apa lagi, ruangan menjadi sunyi. Dia sudah putus asa dengan kelakuan putranya.

Pada jeda di antara mereka, Ki Juru Mertani memiliki pikiran dan rencana sendiri. Pikiran yang tabu diucapkan kepada Panembahan, tetapi akan menentukan untuk masa depan Mataram. Bagi Panembahan Senopati dan Ki Juru Mertani, Mataram adalah segalanya,

Kehadiran Raden Ronggo terlalu berbahaya bagi tujuan besar Mataram. Sesuatu harus dilakukan pada anak brangasan itu.

 

ooOOoo

 

Pasar utama Mangir mulai sepi, Wanabrang sengaja mengambil waktu setelah naiknya matahari. Aryo Banyak, kurir Ki Juru Mertani, sedang berada di depan lapak ketika Wanabrang datang. Mereka berbicara sebentar layaknya pedagang dan pembeli biasa.

Banyak keperluan yang harus dia beli untuk dapur Ki Mangir. Tembakau, rempah-rempah dan beberapa barang titipan dari para abdi dalem. Wanabrang menyerahkan daftar belanjaan pada Aro Banyak dan segera mendapatkan semuanya.

“Sampaikan pesan ini pada Ki Juru Mertani,” bisik Wanabrang sambil menyerahkan selembar pesan, tepat setelah menerima semua barang.

Kurir itu menerima dan segera memasukkannya ke balik saku celana, “Sore ini akan sampai,” bisiknya.

 

ooOoo

 

Pasukan Mataram menghentikan laju kudanya ketika tiba di tapal batas kesultanan. Mereka membentuk dua baris berjajar saling berhadapan, menyisakan bagian tengah yang menjadi jalan bagi rombongan Banten. Sang komandan mendekari Arya Kesuma, menghaturkan sembah hormat dan berkata, “Kita telah sampai di perbatasan, Tuan. Kita harus berpisah di tapal batas ini.”

“Terimakasih, tak ada lagi yang bisa aku bicarakan,” dingin suara Arya Kesuma, meski rasa marahnya telah mereda.

“Atas nama Panembahan Senopati dan Mataram, kami meminta maaf atas semua kerusakan yang telah terjadi. Selamat jalan, saya harap kita akan bertemu lagi sebagai kawan,” kata Komandan Mataram yang tidak dijawab oleh Arya Kesuma. Dia hanya memberikan tanda agar memberi jalan baginya dan para prajuritnya.

Rombongan Banten berjalan pelan, di antara dua deret pasukan berkuda Mataram yang berhadapan. Hening, hilang keramahan meski tak ada permusuhan. Mereka menghilang di balik tikungan, dan Komandan Mataram segera memberi tanda pada anak buahnya untuk berbalik arah menuju istana Mataram.

Lihat selengkapnya