“Pada kesenanganlah waspada akan hilang.”
Hari ini–mungkin–adalah masa penentu bagi masa depan Mangir dan Mataram. Ki Juru Mertani meminta pertemuan pada Panembahan Senopati dan sekarang mereka telah berada di bagian paling dalam di taman istana.
“Aku merasa saat terpenting bagi Mataram telah tiba, Gusti,” suara Ki Juru Mertani,”Aku tak hanya bicara tentang Mataram dan kadipaten-kadipaten di sekitar kita, tetapi tentang kepentingan besar yang menyertainya.”
Panembahan Senopati mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesuatu sedang menggelisahkan hati pamannya dan itu pasti berasal dari para telik sandinya.
“Aku bicara tentang orang-orang putih dari negeri seberang. Merekalah bahaya yang sebenarnya,” lanjut Ki Juru Mertani.
Meski belum terasa kehadirannya di bumi Mataram, Panembahan dapat melihat mereka sebagai musuh yang berbahaya. Laporan tentang bencana yang mereka timbulkan telah sampai kepadanya sejak gugurnya Pati Unus di Melaka.
“Mataram tak akan sanggup menghadapi mereka sendirian, apalagi kadipaten-kadipaten dan tanah perdikan,” Ki Juru Mertani melanjutkan, “Mataram harus menyatukan mereka di bawah panji yang sama.”
“Aku paham tujuanmu, Paman,” sahut Panembahan, ”tapi keras kepalanya beberapa adipati dan tanah perdikan mengganggu tujuan Mataram.”
Ki Juru Mertani menjeda omongan. Memang benar Kadipaten yang enggan bergabung tidak berani menentang terang-terangan, hanya tanah perdikan Mangir yang tegas menyatakan penolakan. Tentang Mangir-lah Ki Juru Mertani ingin membuat pembicaraan.
“Mataram masih menghadapi jalan panjang menuju tujuan. Tanah-tanah di Brang[1] Wetan bukanlah sekutu abadi yang bisa kita andalkan,” kata Ki Juru Mertani sebelum menghela napas sebentar, “Surabaya, Madiun dan kadipaten di sekitar mereka memilih bermain aman dan bermuka dua kepada kita. Aku belum mempercayai kesetiaan mereka.”
Panembahan Senopati menyimak, mendengarkan omongan pamannya tanpa menyela.
“Mangir, meski hanya tanah perdikan, sangatlah kuat. Ki Mangir Wonoboyo telah menjadikan setiap lelaki di tanah perdikannya sebagai prajurit hebat. Tombak Baru Klinting miliknya menyatukan semangat dan tekad mereka,” lanjut Ki Juru Mertani, menguraikan semua pikiran yang terlihat jelas adalah muara dari kecerdasan dan pengalamannya. “Di masa depan, masih banyak daerah yang harus ditaklukkan. Kita tidak bisa kehilangan banyak prajurit hanya karena perang dengan Mangir.”
“Akupun berpikir demikian. Tetapi sifat keras kepala Ki Mangir hampir mustahil kita taklukan tanpa kekerasan,” sahut Panembahan Senopati.
“Hampir, bukan berarti tidak ada kemungkinan, Gusti …,” sambung Ki Juru MertaniPanembahan mendengarkan, menunggu pamannya melanjutkan.
“Beberapa pekan ke depan, Mangir akan mengadakan acara bersih perdikan. Pesta akan digelar, dan pada limpahan kesenanganlah waspada menjadi berkurang. Hamba memiliki rencana, tetapi akan melibatkan orang-orang dalam …,” Ki Juru Mertani terdiam sejenak, ada keragu-raguan tersendat di tenggorokannya.
“Katakan rencanamu, paman,” sela Panembahan Senopati.
“Aku hanyalah orangtua yang mempunyai banyak salah kata dan perhitungan. Mohon dibenarkan jika rencanaku menyinggungmu.”
Panembahan menduga rencana Ki Juru Mertani akan mengusik dirinya, membuatnya semakin penasaran, “Katakan, paman.”
“Rencana ini akan melibatkan Gusti Pambayun,” lanjut Ki Juru Mertani, suaranya menjadi pelan menunggu sikap Panembahan. Gusti Pambayun adalah permata bagi Senopati. Tetapi demi Mataram, dia harus berani mengutarakannya.
“Aku beranikan diri untuk membuat rencana ini,” sambung Ki Juru Mertani.
“Putriku Pambayun adalah permata Mataram, dia tak akan ragu-ragu membantumu. Jiwa raganya untuk Mataram,” kata Panembahan.
“Aku berpikir panjang ke depan. Mataram akan menghadapi banyak perjuangan. Penaklukan Mangir seharusnya tidak sampai melemahkan kekuatan Mataram,” Ki Juru Mertani berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “sebaliknya, bergabungnya Mangir seharusnya menambah kekuatan Mataram.”
“Lanjutkan, paman ….”
“Kurang bijak jika kita menyerang dan membuat permusuhan dengan mereka. Meski Mataram bisa menang, penaklukan Mangir akan menjadi sia-sia dengan hilangnya banyak prajurit dan sumber daya,” lanjut Ki Juru Mertani.
“Lalu apa rencanamu untuk Pambayun?” Panembahan mulai menangkap maksud pamannya.