Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #11

Bab 10: Debu Pengganggu

Pagi di kediaman Ki Juru Mertani dimulai dengan secangkir kopi dan sebiji klembak menyan terbaik lintingan Wanabrang. Uap panas kopinya menari-nari dan harum klembaknya menguar ke mana-mana. Semalam hujan, sisa airnya masih membasahi pelataran dan harum tanahnya menguar, bercampur dengan wangi aroma kopi.

Di seberang pendopo, dipisahkan oleh pelataran, berdiri rumah besar tempat Raden Ronggo yang sekarang menjadi tanggungannya. Di pagi seperti ini, anak brangasan itu masih tidur mendengkur. Di setiap sesapan kopinya, pikiran Ki Juru Mertani kembali ke masa lalu, masa awal mendapatkan tanah perdikan.

Mataram berdiri di atas pondasi batu bernama keberanian, pengorbanan dan kecerdikan. Ki Juru Mertani adalah kecerdikan Mataram. Di masa mudanya, dia bersama Panembahan Senopati mengatur siasat yang berujung didapatkannya tanah perdikan Mentaok. Hutan sepi yang kelak menjadi Mataram.

Saat itu, konflik politik memaksa Jaka Tingkir membuat sayembara untuk membunuh adipati Jipang - Arya Penangsang- dan Mentaok adalah tanah yang dijanjikan. Kecerdikan Ki Juru Mertani dan keberanian Panembahan Senopati diuji pada peristiwa itu.

Arya Penangsang dan senjata andalannya keris Setan Kober adalah adipati yang ditakuti. Sutawijaya–nama muda Panembahan Senopati–bukanlah tandingannya. Ki Juru Mertani mengatur siasat cerdik, telik sandinya bergerak dan informasi tentang Gagak Rimang–kuda jantan tunggangan Aryo Penangsang yang sedang birahi tinggi–menjadi kunci kemenangan.

Ki Juru Mertani memilih kuda betina terbaik yang telah dipotong ekornya sebagai tunggangan Sutawijaya. Pada pertempuran, Gagak Rimang sibuk mengejar kuda betina Sutawijaya. Gerakan Aryo Penangsang dikacaukan oleh birahi kuda tunggangannya. Pada kesempatan terbaik, tombak Kyai Plered milik Sutawijaya berhasil merobek lambung Aryo Penangsang dan membuat ususnya terburai. Pada akhirnya, Arya Penangsang tewas dan Sutawijaya mendapatkan tanah perdikan Mentaok.

Membangun hutan Mentaok dari tempat sepi tanpa penghuni menjadi tanah perdikan yang ramai adalah sekeras-kerasnya perjuangan. Banyak tenaga, air mata dan nyawa yang menjadi tumbalnya.

Mengingat semua peristiwa dan pengorbanan besar yang telah dilalui Mataram, Ki Juru Mertani hilang rasa sayangnya pada Raden Ronggo. Duri ini terlalu besar dan berbahaya.

Aku telah melihat Panembahan menyabung nyawa, aku telah melihat darah mengalir di sela-sela pondasi negeri, aku juga telah melihat ratusan anak menjadi yatim demi berdirinya Mataram.

Kelak, aku ingin melihat Mataram dengan tujuan besarnya. Dan kehadiranmu, Ronggo cucuku, menjadi penghalang besar. Aku tak membencimu, tapi Mataram dibangun di atas banyak pengorbanan. Kelak, Mataram akan membutuhkan pengorbananmu.


ooOOoo


Setelah mengirimkan pesan terakhirnya kepada Ki Juru Mertani, pagi ini Wanabrang berniat datang ke lapak Aryo Banyak, berharap mendapatkan jawaban dan perintah lanjutan. Satu persatu dia menanyakan titipan belanja dan mengingatnya. Wanabrang menemui Mbok Nem meminta ijin untuk keluar membeli keperluan.

“Aku minta ijin keluar sebentar, Mbok. Aku perlu membeli tambahan tembakau dan titipan bumbu,” kata Wanabrang, dia bertemu Mbok Nem di selaras penghubung dapur dan rumah utama.

“Belikan aku rengginang, Cah Bagus. Mumpung kau keluar,” sahut Mbok Nem. Wanabrang mengangguk mengiyakan. Dia segera berkalan ke arah pintu luar.

Hanya perlu melintasi lapangan alun-alun dan Wanabrang telah sampai di lapak Aryo Banyak. Kurir Ki Juru Mertani itu berada di dalam lapaknya, melihat kedatangan Wanabrang lalu memberinya isyarat untuk mendekat. Wanabrang segera meminta beberapa barang dan Aryo Banyak menyiapkannya. Sesudahnya, dia memberi isyarat pada Wanabrang untuk masuk ke dalam.

Wanabrang menengok ke arah kanan dan kiri, memastikan tak ada telinga di balik dindingnya sebelum mulai bicara, “Pesanku telah sampai?”

“Sore itu juga telah aku kirimkan,” jawab Aryo Banyak, “Beliau menitipkan pesan padamu.”

Wanabrang mendekat, “Katakan.”

“Kelompok karawitan telah dibentuk, Gusti Retno Pambayun jadi sinden utama. Tujuan mereka adalah panggung utama di merti perdikan. Tugasmu memastikan Ki Mangir Wonoboyo tertarik dengan kelompok itu dan memberikan undangan,” balas Aryo Banyak.

“Sampaikan pada beliau, aku akan mengatur langkah dan menyediakan jalan Gusti Pambayun agar bertemu Ki Mangir di acara utama,” bisik Wanabrang, sebelum mengambil semua barang-barang belanjaan dan bergegas pergi seolah tak terjadi apa-apa.

Wanabrang tak pernah berlama-lama di lapak Aryo Banyak.


ooOOoo

 

Untuk terakhir kali, Ki Sandiguno menghadap Ki Juru Mertani. Keduanya telah saling mengenal dan terlibat pada banyak pertempuran yang sama. Kopi dan klembak menyan menjadi teman bicara mereka. Ki Juru Mertani lebih menyukai pembicaraan tanpa sekat, membuat para telik sandinya terbiasa dengan sikap kaum jelata.

“Besok sebelum subuh, kami akan berangkat menuju sendang[1] Kasihan, Ki. Membersihkan diri sebelum menjalankan misi,” kata Ki Sandiguno.

Lihat selengkapnya