Pagi buta ketika sebaris rombongan berjalan pelan keluar dari Kotagede. Tiga lelaki berada di bagian depan, tiga orang lainnya menaiki pedati yang ditarik dua ekor sapi. Di bagian belakang berderet banyak lelaki menggotong peralatan.
Mereka adalah prajurit Mataram yang menyamar sebagai kelompok karawitan. Tak terkecuali para wiyogo[1] pengiringnya, semuanya prajurit dan telik sandi pilihan.
Sepinya pagi pecah oleh suara percakapan, langkah kaki, derap sapi dan derik suara pedati. Gerusan roda pedati dan obrolan ringan para lelaki seperti penanda bagi gembiranya hari-hari yang akan mereka bawa nanti. Hari ini mereka menjadi rombongan karawitan dari Kediri, pembawa kesenangan di setiap jalan yang dilewati.
Ki Sandiguno menjadi kusir cikar di barisan depan, duduk di sebelah kanan bersama Nyai Adiroso mengapit Roro Kasihan. Dingin dan embun mengusap lembut pipi Roro Kasihan, bahkan gelap tak mampu menyembunyikan terang ranum kulit putri kesayangan Sultan itu.
“Tak lama lagi kita sampai di sendang, Ni,” Kata Ki Sandi Guno, “bersihkan diri kalian, semoga kelompok karawitan kita laris di bumi Mangir nanti.”
“Dan apus kromo lancar dijalankan,” sambung Nyai Adiroso.
Roro Kasihan, perempuan muda itu, menatap mantab ke arah depan. Tak ada keraguan pada sorot mata dan sikap tubuhnya, “Aku akan menjadi sinden utama nanti, di puncak merti perdikan,” katanya meyakinkan. Ki Sandiguno tersenyum mendengarnya.
“Setelah belokan di depan, kita akan sampai di sendang, siapkan segala keperluan, Nyi,” perintah Ki Sandiguno pada Nyai Adiroso.
“Sudah saya siapkan semuanya, Ki. Di rinjing-rinjing[3] di bagian belakang pedati.”
Benar saja, tepat setelah belokan mereka melihat pohon soka besar berbunga kuning menaungi sendang kecil di bawahnya. Sendang Kasihan, konon sumber airnya memancar setelah tancapan tongkat dan do’a Sunan Kalijaga. Hari masih gelap ketika mereka semua segera turun dan menyiapkan ritual bersih diri. Tenang khidmat, sepertinya tak ada yang menyadari kehadiran mereka.
Dituntun oleh Nyai Adiroso, Roro Kasihan turun dari pedati. Peralatan ditata dan dibawa lalu mereka bergegas menuju sendang. Sementara para prajurit yang menyamar menjadi wiyogo dan waranggono tetap waspada berjaga-jaga, menyebar di sepanjang jalan sambil mengawasi keadaan.
ooOOoo
Ki Sandiguno dan kelompoknya tak ingin membuang waktu. Selepas membersihkan diri di sendang Kasihan, mereka berangkat menuju Mangir dan menjelang sore mereka telah menyeberangi sungai dan berada di seberangnya, tanah perdikan Mangir.
Ki Sandiguno adalah telik sandi Mataram terlatih. Dia telah mengirimkan beberapa anak buahnya menuju Mangir mendahului rombongan. Ki Sandiguno menugaskan mereka menyebarkan isu dan omongan tentang kedatangan kelompok karawitannya. Dan tentang kecantikan sinden utamanya, Roro Kasihan.
Katakan pada rakyat Mangir, akan datang kelompok karawitan terbaik dari Kediri, kecantikan sinden utamanya serupa bidadari, pesannya pada para anak buahnya.
Di kademangan Tangkilan Ki Sandiguno memutuskan berhenti. Kademangan ini ramai oleh lalu-lalang orang. Tempat yang sesuai untuk mulai mbarang dan mendapatkan perhatian.
Ki Sandiguno segera menyuruh semua orang untuk menggelar tikar besar dan menata peralatan. Selanjutnya dia mengutus Ki Jaya supanta untuk memberikan buah tangan dan upeti kepada penguasa kademangan sebagai tanda sowan akan kedatangan mereka. Ki Jaya Supanta juga mengirimkan bujuk rayu pada penguasa kademangan agar mereka bersedia datang.
Ijin diberikan dan Ki Sandiguno segera menjalankan rencana-rencana lainnya.
Kademangan Tangkilan yang dipilih Ki Sandiguno berada di jalan utama menuju tanah perdikan Mangir, sekaligus menjadi persimpangan bagi banyak kademangan yang lain. Kehadiran mereka akan menjadi pusat perhatian. Lalu-lalang pengembara dan pedagang akan menjadi corong yang akan mengabarkan berita tentang kehadiran mereka.
Merti perdikan tak lama lagi, sekarang mereka sedang mengejar nama. Mencari cara agar kehadiran mereka mencolok mata. Anggota kelompoknya sedang berpencar, menyebar undangan dan mengabarkan berita.
Ki Sandiguno dan para wiyogo sibuk membongkar semua peralatan. Menurunkan gamelan, lampu ublik dan dimar, kursi dan dekorasi. Mereka menurunkannya dengan hati-hati dari dalam pedati. Ruang kosong pedati segera beralih fungsi menjadi tempat rias bagi Roro Kasihan dan Nyai Adiroso.
Malam nanti, panggung kecil mereka akan menjadi pusat keramaian. Dan biasanya, sebuah keramaian akan menarik keramaian yang lain.
Jalan menuju panggung utama merti perdikan akan terbuka lebar.
ooOOoo
Ki Juru Mertani betindak dan mengambil keputusan dari laporan telik sandinya. Dia memiliki kecerdikan dan tata cara untuk memilah dan memanfaatkan potongan kecil berita menjadi senjata yang berguna. Dia tahu banyak tentang Ki Mangir Wonoboyo dan kekuatan terhebatnya adalah tombak Baruklinting dan tombak Barukuping.
Kata telik sandinya, Baruklinting menuntut terjaganya wibawa dan pantang merunduk agar tak berkurang dan hilang wibawa. Hari ini, Ki Juru Mertani melanjutkan rencananya untuk menyambut Ki Mangir.
Ada kegiatan yang tidak biasa di depan pintu masuk istana. Puluhan lelaki berkumpul dan mulai bekerja. Tukang gali dan dan penyusun batu bata sibuk di bawah perintah Ki Juru Mertani sendiri.
“Pastikan, tinggi pintu masuk tak lebih dari tinggi kepalaku.”
Hari ini, Ki Juru Mertani mengubah tinggi gapura menjadi lebih rendah dari ujung kepalanya.
Ketika waktunya tiba, Ki Mangir akan dipaksa melewati pintu ini, dan pusaka Baru klinting harus menunduk sebelum masuk.
ooOOoo
Tikar telah digelar di lapangan pinggir jalan utama. Lampu-lampu telah disiapkan dan gamelan diatur rapi sedemikian rupa. Malam ini, gelaran tikar lebar akan menjadi panggung bagi kelompok karawitan pimpinan Ki Sandiguno, penduduk mengenal kelompok ini sebagai karawitan dari Kediri.
Saat gelap mulai datang, lampu-lampu penerang dan obor besar mulai dinyalakan. Lampu gantung besar dipasang di bagian atas gelaran. Dari tempatnya berdiri, Ki Sandiguno dapat melihat kesempurnaan dari posisi gelaran panggungnya. Dia tidak hanya mengatur bagaimana sebuah pertunjukan berjalan, tapi juga berhitung tentang keamanan Roro Kasihan.
Tak seperti kelompok karawitan yang lain, panggung diatur dengan pintu-pintu masuk dengan deretan meja jati sebagai pembatas. Posisi gamelan di atur sebagai senjata penghalang. Tak terlihat bagi mata awam, hanya mata prajurit yang dapat merasakan tatanan panggung menyerupai benteng pertahanan. Ki Sandiguno mengaturnya untuk menjaga kehormatan Roro Kasihan.
Malam semakin gelap ketika satu rombongan terlihat berjalan pelan. Dua orang berkuda, satu kereta dan beberapa orang pengiringnya.
“Ki demang Pajangan, Ki …,” bisik Ki Jaya Suprana, “dia sahabat demang Tangkilan. Aku mengundangnya tadi siang.”
“Bagus, Ki. Pembukaan karawitan kita akan ramai,” gumam Ki Sandiguno.