Tanah perdikan Mangir tak sebesar Mataram. Berita yang datang di pagi hari, akan menjadi pembicaraan di siang harinya. Sekejapan mata saja sebuah omongan akan menyebar lalu membesar bersama tambahan kata-kata.
Pagi ini dapur utama lebih ramai dari biasanya. Tak hanya juru dapur, para abdi dalem lainnya berkumpul di sana, membentuk lingkaran mengelilingi Mbok Nem yang duduk di lincak layaknya pembesar istana. Wanabrang sengaja mengambil duduk agak menjauh, berharap nanti ketika bicara, suara kerasnya akan didengar semua.
Entah siapa yang memulai, pagi ini mereka membuka hari dengan percakapan tentang kelompok karawitan yang semalam mbarang di Tangkilan. Setiap orang menanggapi, menambahkan dan membumbui cerita dengan banyak tambahan kata. Kecantikan sindennya menjadi perbincangan mereka.
Cerita itu pasti berasal dari mulut para pedagang, tersambung pada para pelanggan, menumpang di barang dagangan lalu berlanjut melewati banyak perkampungan dan sekarang telah sampai di dapur utama Ki Mangir.
“Kata orang, sindennya seperti Dewi dari kayangan, “kata seorang laki-laki, sepertinya tukang taman.
Lelaki di sebelahnya tak mau kalah ikut menimpali, “Kata penjual mainan, wajah sinden itu bersinar seperti matahari.”
Mbok Nem mengunyah banyak makanan sambil mendengarkan, seolah tak perduli. Dari caranya menyecap jajajan, Wanabrang tahu perempuan itu sedang menyimak penuh perhatian.
“Sinden utamanya cantik sekali, suaranya-pun sangat merdu. Tak ada serangpun yang pernah melihat sinden secantik itu. Putri kratonpun dibuatnya malu,” imbuh yang lain tak mau kalah.
“Kamu melihat acaranya semalam?” tanya Mbok Nem.
“Tidak, Mbok. Tapi semua orang bilang begitu.”
Wanabrang memutuskan larut pada pembicaraan, “Mbok Nem, aku merasa ini adalah jawaban dari mimpi Ki Mangir, tak ada salahnya jika Mbok Nem melihatnya sendiri. Kalau Mbok Nem berkenan, saya antarkan nanti pakai dokar, bendi atau pedati.”
Mbok Nem menghentikan kudapannya dan memberiku perhatian, membuat semua orang terdiam.
“Aku ingin melihatnya. Bertahun-tahun aku tak keluar kediaman untuk bersenang-senang,” sahut Mbok Nem, “aku penasaran dengan sinden itu, semoga menjadi jawaban dari mimpi Ki Mangir.”
“Anggap saja ini bentuk bakti Mbok Nem pada Ki Mangir, mencari jawaban dari mimpinya. Mintalah ijin pada Ki Mangir. Kita juga membutuhkan pengisi acara utama untuk merti perdikan nanti,” sambung Wanabrang.
“Pikiranmu sama dengan pikiranku, Cah Bagus,” sambung Mbok Nem. Mbok diam, menyelesaikan kunyahan terakhirnya lalu beranjak pergi.
Wanabrang hanya perlu menunggu perintahnya, kapanpun Mbok Nem mau, dia siap mengantarkannya melihat sinden yang membuatnya penasaran.
ooOOoo
Wanabrang semakin sering mengunjungi lapak Aryo Banyak. Mbok Nem dan para abdi dalem senang karena Wanabrang lebih banyak datang dengan bumbu segar.
Tak seperti hari-hari sebelumnya, siang ini pedagang di pasar alun-alun Mangir terlihat sepi. Hanya terlihat lapak-lapak terbuka, tetapi para pedagang tiban[1]nya pergi entah ke mana.
“Kenapa sepi?” tanya Wanabrang pada Aryo Banyak.
“Pedagang tiban pindah, mereka mengikuti rombongan karawitan Kediri. Aku mengabarkan kepada para pedagang bagaimana ramainnya pengunjung di sana,” jawab Aryo Banyak. Wanabrang tersenyum, pasti Ki Juru Mertani telah mengatur semua detil kecilnya.
“Ada pesan dari Ki Juru Mertani?”
“Belum ada,” sahut Aryo Banyak, “tetapi sering-seringlah kemari, perintah dari Ki Juru Mertani bisa datang kapan saja.”
Wanabrang mengangguk. Pasar semakin sepi menjelang tengah siang.
“Umpan kita telah dimakan, kabar kedatangan kelompok karawitan mulai ramai dibicarakan. Tapi ada yang perlu ditambahkan,” lanjut Wanabrang.
“Apa itu?” tanya Aryo Banyak penasaran.
“Katakan pada Ki Juru Mertani, pastikan Roro Kasihan memakai mahkota mutiara saat mbarang,” Kata Wanabrang sambil beranjak pergi.
ooOOoo
Dini hari setelah pertunjukan usai, rombongan karawitan membongkar semua peralatan dan memasukkannya ke dalam pedati. Beberapa orang mengambil istirahat di rumah penduduk yang disewa. Ki Sandiguno mengawasi semua pembongkaran, semuanya selesai sebelum subuh tiba.
Semua lelaki duduk di tanah bekas tikar gelaran membentuk lingkaran, Ki Sandiguno berada di tengahnya. “Siang nanti, kita berpindah ke kademangan Pangker. Setelahnya kita berjalan ke arah merti perdikan Mangir. Sekarang istirahatlah. Perjalanan kita masih panjang.”
Siang nanti, rombongan karawitan berpindah ke arah kademangan Pangker menuju arah pusat Mangir. Kali ini mereka tidak sendiri, di belakangnya mulai muncul rombongan pedagang. Mereka tak menyia-nyiakan keramaian dan berharap tambahan pendapatan. Sesekali mereka membantu membereskan peralatan. Semua orang senang, keramaian semakin panjang ketika para pedagang memutuskan menjadi ekor bagi panjangnya rombongan, mengambil untung dari keramaian.
“Rencanamu mulai menampakkan hasilnya, Ki,” Kata Nyai Adiroso, “tugasmu semakin ringan, setidaknya banyak orang yang membantumu menata gamelan dan menyiapkan tikar.”
“Yang paling penting, pedagang-pedagang itu membantu kita menyiarkan kabar. Ki Mangir pasti telah mendengar kedatangan kita,” sahut Ki Sandiguno.
ooOOoo
“Aku dengar tentang kedatangan rombongan karawitan dari Kediri,” kata Ki Mangir.
“Benar, Kangmas. Mereka tidak seperti karawitan biasanya. Berisi orang-orang hebat. Waranggono dan sindennya bermain luar biasa, kecantikan sindennya melebihi rupa wanita biasa,” samut Ki Rojoniti.
Ki Mangir melipat ujung klembak dan menyalakannya, “Seberapa hebat mereka, Dimas?”
“Semalam mereka mbarang di Tangkilan. Ki Demang Tangkilan dan Pajangan hadir di sana. Beberapa selentingan mengatakan banyak hal tentang rombongan karawitan itu. Tapi semua omongan berujung pada kecantikan sindennya,” jawab Ki Rojoniti, dia memahami arah utama perbincangan kakaknya. Sejak mimpi tentang merpati, pembicaraan tentang penari menarik perhatiannya.
“Ke arah mana sekarang mereka berjalan?”
“Abdi dalemku bertemu mereka tadi siang, ada arak-arakan berjalan menuju kademangan Pangker. Semakin mendekat ke arah pusat Mangir. Sepertinya merti perdikan menjadi tujuan mereka,” lanjut Ki Rojoniti, “beberapa pedagang di alun-alun Mangir menutup lapaknya, mengikuti keramaian yang mereka bawa.”
“Pasti kelompok karawitan yang luar biasa, mampu menarik keramaian sedemikian rupa,” kata Ki Mangir, “suruh mbok Nem melihat pertunjukannya. Kalau mereka sebagus seperti kabar yang tersiar, berikan undangan sebagai pengisi acara utama, tahun ini merti merdikan harus lebih ramai dari biasanya.”
Ki Rojoniti tersenyum, belum pernah dia melihat kakaknya memberi perhatian sebesar ini pada kelompok karawitan. Merpati bermahkota mutiara itu pasti melekat di pikirannya.
ooOOoo