“Di ujung jatuh jaritmu Ni, aku pintal masa depan. Mata dan jiwaku terpaku di lipatan lakumu.”
Mataram mulai tenang meski riaknya sewaktu-waktu bisa menjadi gelombang. Raden Ronggo sesekali keluar tanpa membuat kekacauan. Ki Juru Mertani telah menutup banyak tempat yang dapat menarik kedatangannya. Semua kemungkinan timbulnya keributan ditutup dan terlarang dan penjaga ditempatkan di mana-mana.
Setelah makan siang di dalem pechaosan[1], Panembahan Senopati menyuruh semua orang meninggalkan ruangan. Hanya dirinya dan Ki Juru Mertani yang kini beralih ke pembicaraan tentang perkembangan telik sandinya yang sedang berada di Mangir.
“Tentang apus kromo, Kabar apa yang kau bawa paman?” tanya Panembahan sambil menutup tudung mangga kweni, aroma wanginya menyebar liar menyapu ruangan. Ki Juru Mertani menahan napas mencoba menahan rasa mual, dia tak pernah suka aromanya.
“Robongan karawitan telah menjadi omongan di bibir rakyat Mangir. Kabar telah sampai pada Ki Mangir Wonoboyo dan dia sangat penasaran karenanya. Telik sandi mengirimkan kabar, Ki Mangir akan mengirim undangan pada rombongan karawitan kita. Hari ini, undangan akan disampaikan,” jawab Ki Mangir dengan senyum mengembang. Siasatnya semakin mendekati keberhasilan.
“Seharusnya siang ini telik sandi kita sedang dalam perjalanan mengirimkan undangannya. Aku sedang menunggu kabar itu, Gusti,” lanjut Ki Juru Mertani.
Panembahan Senopati tersenyum, kabar yang datang dari para telik sandi dan potongan mangga kweni menyenangkan hatinya. “Bagus, paman. Aku tak melihat ada kesalahan sejak awal siasat dijalankan.”
“Kami selalu mengawasi, waspada dan berhitung pada setiap langkah dengan hati-hati. Tak ada yang terlewat oleh para telik sandi kita,” sambung Ki Juru Mertani.
“Aku menunggu kabar baik darimu, jangan lupakan batas waktu siasatmu,” Kata Panembahan Senopati mengingatkan.
“Tentu Aku ingat itu, Gusti,” jawab Ki Juru Mertani, “sebelum lima purnama dan kita belum melewati dua purnama.”
“Aku senang dengan kabar yang kau sampaikan,” Panembahan Senopati menghabiskan mangga kweninya. Potongannya telah tandas tetapi aromanya masih liar ganas menyapu ke mana-kemana.
Mereka tak bicara banyak hal sesudahnya, Ki Juru Mertani memutuskan pamit untuk mengatur gerak anak buahnya. Dia meninggalkan dalem pechaosan dengan wajah sumringah dan sisa aroma kweni yang tak disukainya.
ooOOoo
Wanabrang memacu Sapu Jagad seperti kesetanan. Larinya riang, melaju kencang meninggalkan debu dan ayam-ayam yang menghindar berlarian di sepanjang jalan Mangir menuju kademangan Pangker. Sapu Jagad seperti tahu kabar gembira yang sedang dibawa tuannya.
Setelah menempuh perjalanan tak lebih dari setengah hari, menjelang tengah siang, Wanabrang tiba di lapangan Pangker. Masih ada keramaian di sana, lapak-lapak pedagang berjejer mengelilingi sisi lapangan dan keramaian ditandai dengan teriakan gembira orang-orang.
Wanabrang menarik tali kekang dan laju Sapu Jagad menjadi berkurang. Mereka berjalan pelan menuju arah tengah lapangan, tempat panggung karawitan sedang dibongkar.
Seseorang mendekat, Wanabrang mengenalinya sebagai wiyogo penabuh gendang.
“Dari mana, anak muda? Sepertinya kedatanganmu sedang tergesa,” sapanya sopan tapi tak menyembunyikan ketegasan, tepat setelah Wanabrang berada di sisi tenda. Wanabrang turun dari Sapu Jagad dan segera menghaturkan tanda hormat. Prajurit Mataram ini tak mengenalinya.
“Sembah hormat, Ki. Saya utusan dari Ki Ageng Mangir Wonoboyo hendak menyampaikan pesan pada pimpinan rombongan,” jawab Wanabrang. Prajurit itu masih tak mengenali Wanabrang, meski Wanabrang beberapa kali keluar masuk istana Mataram, tapi kehadirannya selalu berada di balik bayang-bayang. Diam-diam tak menarik perhatian.
“Katakan keperluan pesanmu, aku sampaikan nanti pada pimpinan rombongan,” sahutnya. Mudah sekali bagi Wanabrang mengenali gaya dan aturan mereka sebagai tata cara prajurit, tak akan mengijinkan orang asing bertemu dengan pimpinannya.
“Ki Mangir Wonoboyo ingin mengundang kelompok karawitanmu untuk menjadi pengisi acara utama merti perdikan. Beliau berharap kelompok karawitan ini sudi meluangkan waktu mampir ke perdikan kecil kami dan membuat kegembiraan di sana,” jawab Wanabrang sopan. Mata Surodipo membulat senang.
Ada kilat senyum di bibir Ki Surodipo, katanya, “Tunggulah barang sebentar. Istirahatkan dirimu dan kudamu. Aku akan sampaikan pesanmu pada pimpinan rombongan, Ki Sandiguno.”
Dia membalikkan badan menuju rumah besar di sisi lapangan. Wanabrang menambatkan Sapu Jagad pada sebatang pohon ketapang dan berlindung di bawah batang besarnya.
Pimpinan rombongan muncul. Berpakaian sederhana, baju terbuka dan celana gombrong dengan tali dadung[2] mengikat pingganganya, Wanabrang tetap mengenalinya sebagai adipati Martoloyo. Dia menjadi Ki Sandiguno sekarang.
“Selamat datang, anak muda. Aku sudah membaca pesan yang kau bawa. Sampaikan pada Ki Mangir Wonoboyo, kami merasa terhormat dan tentu saja akan datang menjadi pengisi acara utama di merti perdikan nanti,” katanya seraya menepuk bahu Wanabrang, “sampaikan sembah bekti dan hormat kami pada beliau. Sehat sejahtera selalu untuk Ki Mangir Wonoboyo dan tanah perdikannya.”
“Terimakasih, Ki. Ki Mangir Wonoboyo pasti gembira dengan kabar ini. Saya mohon pamit untuk menyampaikan berita ini,” balas Wanabrang. Ki Sandiguno menawarinya untuk beristirahat barang sejenak. Wanabrang menampik sopan dan segera berbalik menuju arah pulang. Kata orang, berita gembira harus segera disampaikan agar tak menjadi kadaluwarsa kesenangannya.
Wanabrang memacu Sapu Jagad kembali ke tanah merdikan seperti caranya datang. Mirip orang kesetanan dan meninggalkan kepulan debu di jalanan.
Sepanjang jalan pulang, Wanabrang menghitung dan mereka-reka jalan ke depan. Satu demi satu rencana Juru Mertani menemukan jalan. Satu demi satu batu bata untuk kokohnya pondasi Mataram mulai tertata.
ooOOoo
Setelah undangan datang.
“Bereskan semua peralatan dan barang bawaan. Kita berangkat menuju perdikan Mangir sekarang,” perintah Ki Sandiguno setelah kepergian Wanabrang.
“Beritahu Nyai Adiroso dan Roro Kasihan, Ki. Kita menuju tempat tujuan,” lanjutnya memberi perintah pada Ki Surodipo.
Seketika semua kegiatan diam berubah menjadi kesibukan. Para wiyogo yang sedang beristirahat bergerak melaksanakan perintah Ki Sandiguno. Tikar-tikar dilipat, lampu-lampu dibereskan dan kotak-kotak gamelan dimasukkan ke dalam pedati.
Di gandhok sebelah kanan, Ki Surodipo menemui Nyai Adiroso dan memerintahkannya segera bersiap. “Maaf, Nyi. Ki Sandiguno memerintahkan kita segera bersiap,” kata Ki Surodipo, “Ki Mangir Wonoboyo sudah memberikan undangannya. Kita menuju tanah tujuan.”
Ada napas lega di wajah Nyai Adiroso, “Syukurlah. Aku beritahu Roro Kasihan sekarang.”
Dia segera berbalik ke arah dalam dan menemukan Roro Kasihan sedang membereskan alat-alat dan memasukkannya ke dalam kotak.
“Aku sudah dengar, Nyi. Kita menuju tempat tujuan kita,” sambut Roro Kasihan. Nyai Adiroso melihat kilat semangat di mata lembut Roro Kasihan. Tangan lentiknya membawa kotak kecil terbuat dari kayu jati berukir dan hiasan perak lalu menyerahkannya pada Nyai Adiroso.
“Simpan baik-baik, Nyi. Aku pakai di puncak merti perdikan nanti,” katanya, “mahkota kecil dari butiran mutiara Sumba.”
Hari itu juga rombongan karawitan Kediri bergerak menuju perdikan Mangir. Ki Surodipo telah berangkat mendahului. Ki Sandiguno menyuruhnya mencari rumah sewa di tempat tujuan. Semua telah diatur sebaik dan setelitinya. Di bawah perintah dan mata awas Ki Sandiguno, tak ada satu bagian kecilpun yang terlewat.
Sore hari ketika mereka tiba di sekitaran lapangan Mangir, Ki Surodipo menyambut dan mengarahkan rombongan ke rumah penginapan yang sedikit terpencil, cukup dekat dengan keramaian tetapi tak terganggu lalu-lalang orang.
Malam harinya, Ki Sandiguno menemui abdi dalem Mangir sebagai balasan undangan dan membicarakan tata cara acara dan mengatur tata waktu bagi kelompok karawitannya di acara merti perdikan nanti.
Senyumnya mengembang ketika kembali ke penginapan.
Persiapan merti Perdikan
Enam orang duduk mengelilingi meja panjang berisi nampan-nampan penuh makanan. Di balai-balai penginapan besar di sisi tersembunyi perdikan Mangir, mereka memilih duduk di tempat terbuka bagian belakang, seperti lapangan luas yang dulunya tanah tegal.
Di tempat terbuka, semua terlihat tanpa rahasia. Ditempat luas, kita bisa melihat hadirnya mata dan telinga, kata Ki Sandiguno suatu waktu, telik sandi hebat yang sekarang memimpin rombongan.
Ki Sandiguna duduk di bagian tengah dan Roro Kasihan berada di sampinya. Sementara Ki Jaya Supanta, Ki Sandi Sasmito, Ki Surodipo, dan Nyai Adiroso mengambil duduk di seberang meja.
“Undangan dari Ki Mangir Wonoboyo telah disampaikan. Aku telah menemui pengatur acara merti perdikan dan kita mendapatkan tempat tujuan kita; menjadi pengisi utama acara,” suara Ki Sandiguno riang tertahan menjaga wibawa. “Merti Merdikan dua hari lagi, kita hanya punya waktu satu hari menyiapkan semua keperluan. Siapkan sebaik-baiknya.”