“Aku pernah berada di titik atas bahagia, Kangmas. Aku siap menanggung duka.”
Begitulah ketika cinta dan rasa suka datang sebagai garis nasib yang ditegaskan. Ketika mimi dan mintuno dipertemukan, mustahil menolak ketertarikan. Mungkin Ki Mangir mengejar arti mimpinya, dan memang benar dia akhirnya mendapatkan buahnya. Awalnya Roro Kasihan hanya menjalankan rencana Mataram, tetapi saat keduanya bertemu, semua alasan-alasan itu menjadi semu, perlahan kabur dan menghilang ditimbun oleh perasaan nyata yang mereka bawa.
Hakikatnya, Roro Kasihan tidak sedang menebarkan pikat. Tetapi begitulah cara yang sedang ditentukan oleh nasib. Tak peduli Roro Kasihan sedang menjalankan siasat atau melaksanakan niat jahat–ketika dua insan ini bertemu–keduanya akan saling terpikat. Tak heran, manusia sering menertawakan betapa lucunya nasib. Semua kerumitan menjadi sederhana. Mereka saling suka, sama-sama jatuh cinta. Hanya itu yang mereka tahu dan jalani. Alasan perjalanan hanyalah cara nasib membuat pertemuan.
Saat ini, Roro Kasihan melihat Ki Mangir sebagai laki-lakinya. Sosok yang mampu membuat degup jantungnya berhenti seketika, sekaligus memompa aliran darahnya memancar ke mana-mana. Ki Mangir sanggup membuatmya menjadi pucat muka atau bersemu merah dadu pipinya. Lelaki ini pula yang membuat sendi kakinya gemetar tanpa sebab dan membuat matanya terpaku tanpa sadar. Roro Kasihan tak sanggup menolak kalau Ki Mangir adalah mintuno-nya, lelaki yang ditakdirkan menjadi pendampingnya. Dia memujanya sepenuh jiwa.
Bagi Ki Mangir, tak perlu melihat dua kali apalagi menimbang-nimbang ketika melihat Roro Kasihan untuk pertama kalinya. Ketika matanya bertemu mata Roro Kasihan, lekatnya tak mudah dihilangkan hanya dengan membuang muka. Dia adalah merpati bermahkota mutiaranya.
Kegembiraan di kediaman Ki Mangir adalah kegembiraan bagi tanah perdikan, auranya menyebar ke seluruh rakyatnya. Awalnya adalah pujian-pujian tentang betapa serasinya mereka, contoh nyata dari cerita Ratih dan Kamajaya. Dari pujian sebagai pasangan, omongan berlanjut tentang anak keturunan. Hari-hari selanjutnya adalah do’a-do’a yang dipanjatkan dan penantian tentang kabar kehamilan.
Dan tak perlu lama sebagai penantian, karena doa-doa banyak orang dikabulkan dan kabar segera tersiar: Roro Kasihan mengandung. Penerus Ki Mangir segera datang.
ooOOoo
Jarak Mangir Mataram hanya sepelemparan batu, kurir paling lambatpun sanggup berlalu-lalang berungkali dalam sehari. Tak heran, kabar dari Mangir cepat terdengar di Mataram. Di taman istana, Panembahan Senopati dan Ki Juru Mertani bertemu.
“Kabar tentang Mangir meresahakanku, paman. Pambayun mengandung cucuku …,” Panembahan Senopati membuka suara. Dia merasa serba salah sekarang, kandungan Pambayun seharusnya menjadi berita gembira, tetapi apus kromo membuatnya memiliki beban yang berbeda. Sesungguhnya Panembahan Senopati tak resah oleh kehamilan putrinya, tetapi khawatir pada rusaknya misi apus kromo yang telah mendekati ujung.
“Ampun Gusti, terkadang rencana berjalan bukan pada garis seharusnya. Yang terjadi pada Pambayun adalah belokan yang tak saya sangka. Tapi Gusti tak perlu khawatir, rencana kita adalah tentang takluknya Mangir. Pambayun melakukannya dengan sempurna.”
“Aku melihat lahirnya urusan baru dari kejadian ini. Mataram sudah menyimpan bara sekamnya sendiri dan sewaktu-waktu bisa membesar menjadi api. Raden Ronggo membuatku pusing dan adipati-adipati bermuka dua pasti sedang mencari cara melipat kata, menggunting posisi Mataram di masa depan.”
Kehamilan Pambayun adalah kegembiraan, tetapi ada kekhawatiran pada urusan yang menyertainya. Panembahan bukan orang peragu, jika saja bukan Pambayun yang berdiri di antara dirinya dan urusan di depannya, Panembahan pasti akan mengambil sikap tanpa ragu.
“Karena urusan ini, Ki Mangir semakin terikat pada Mataram. Kakinya telah tertancap oleh tanggung jawab pada kandungan di rahim Pambayun. Tanpa dia sadari, darah Mangir telah menyatu dengan darah Mataram. Dan takdir tak terhindarkan darinya adalah sebagai menantu Panembahan. Kehormatan kesatria adalah menjaga kehormatan mertua sebagai orang tua kedua,” kata Ki Juru Mertani.
“Apa rencanamu, paman? Aku mendengarkan.” Kata Panembahan.
“Sudah waktunya penyamaran dibuka. Ki Mangir harus tahu siapa Pambayun, agar bisa melaksanakan darma dan sembah bakti pada mertua sesungguhnya.”
“Apakah ini saat yang tepat? Aku khawatirkan keselamatan Pambayun. Sedikit waktu salah, maka celaka akan menimpa Pambayun dan rencana kita.”
“Telik sandiku memberi banyak masukan, Gusti. Ki Mangir dan Pambayun adalah kekasih tak terpisahkan. Ki Mangir tak akan mengambil tindakan gegabah yang membahayakan, apalagi ada jabang bayi di kandungan istrinya. Beliau orang dengan banyak pertimbangan dan kasih sayang,” Ki Juru Mertani berusaha meyakinkan.
Memang benar, apa yang menjadi usulan Mertani pada Panembahan, bukanlah sekedar kata-kata yang manis di permukaan. Semuanya telah ditimbang dan dipikir matang.
Panembahan menghela napas, “Memang benar katamu. Sudah waktunya Ki Mangir menghadap. Urusan Mangir Mataram harus segera selesai. Rencana panjang kita telah menyerap banyak urusan, sudah waktunya kita menetapkan ujung keputusan.”
“Aku telah siapkan semua yang diperlukan. Gapura penyambutan telah selesai dibuat, ruang untuk mereka berdua telah ditata dan abdi dalem pilihan untuk mereka telah disiapkan.”
“Berikan pesan pada Pambayun. Ingatkan dia, cinta bisa beriringan dengan tugas negara. Saat ini, tugas negara memberikan tuntutan padanya. Katakan, aku menyuruhnya dan Ki Mangir untuk datang menghadap. Sebagai bekti hormat menantu kepada mertua.”
“Aku akan segera mengirimkan perintah untuk Gusti Pambayun.”
Ki Juru Mertani segera keluar dan memanggil telik sandinya. Sebelum pagi hilang, telik sandi itu telah melesat meninggalkan Mataram menuju perdikan Mangir.
ooOOoo
Wanabrang menduga ada perintah teramat penting sedang datang dari Mataram. Pagi ini dia mendatangi lapak Aryo Banyak dan dari kejauhan, lelaki itu memberinya tanda agar berjalan cepat.
“Ada kabar penting apa,?” tanya Wanabrang setelah berada di sampingnya.
“Sudah waktunya bagi Gusti Pambayun untuk membuka diri. Panembahan menunggu sembah bekti menantunya.”
“Bukankah Nyi Adiroso yang seharusnya menyampaikan berita pada ini pada Gusti Pambayun?” tanya Wanabrang sedikit heran. Setelah pernikahan, rombongan Karawitan Kediri pergi dari tanah perdikan Mangir, meninggalkan Pambayun dan Nyi Adiroso yang tetap tersamar sebagai Roro Kasihan dan abdinya.
“Memang benar Nyi Adiroso yang akan menyampaikan pada Gusti Pambayun. Keberadaanmu tetap tak mereka kenali. Tetapi ada hal-hal lain yang menjadi pertimbangan, Ki Juru Mertani berjaga-jaga jika ada silap sikap dari Ki Mangir setelah menerima pengakuan Gusti Pambayun. Tugasmu untuk memasang mata, mengawasinya setiap saat dan memastikan Gusti Pambayun selamat.”
Wanabrang paham. Ki Juru Mertani tak menugaskannya untuk menyampaikan berita, tetapi menjaga Gusti Pambayunlah yang sekarang menjadi urusan utama.
“Aku mengerti,” balas Wanabrang. Seperti biasa, dia tak berlama-lama bicara dengan Aryo Banyak. Setelah membeli beberapa barang keperluan, Wanabrang segera meningalkan lapak.
Mulai sekarang, Wanabrang memasang mata pada Retno Pambayun. Membuat bermacam rencana dan jika hal buruk terjadi, telah ada jalur pelarian di kepala.
ooOOoo
Pembaringan Roro Kasihan
Nyi Adiroso telah menerima pesan dari Wanabrang, sepanjang hari dia menyiapkan kalimat untuk disampaikan pada Roro Kasihan.
“Nduk, aku merasakan kebahagianmu seperti aku sendiri yang menjalani laku senangmu. Aku ingin melihatmu seperti ini, dalam sangkar yang tak membuatmu merasa terikat. Tapi, Nduk. Kita memiliki kewajiban yang disematkan pada pundak dan kehormatan kita,” kata Nyi Adiroso pada Roro Kasihan. Suaranya pelan penuh kehati-hatian. Ki Mangir sedang berada di luar kediaman bersama para pembesarnya. Inilah waktu terbaik baginya untuk bebas bicara berdua dengan Roro Kasihan.
Roro Kasihan menundukkan muka, jelas ada gejolak hebat di dadanya. “Aku mengerti, Nyi. Maafkan aku yang telah larut pada urusan dan kesenanganku sendiri.”
“Aku paham, Nduk. Tak ada yang perlu dimaafkan. Nimas masih muda, dan garis nasib seringkali buta pada usia muda. Aku hanya mengingatkanmu, Nduk. Tak perlu membuang kebahagianmu, cukuplah melaksanakan kewajibanmu,” kalimat bercabang Nyi Adiroso adalah pilihan bagi Roro Kasihan, dia telah dewasa dan punya kemampuan untuk memutuskan.