“Istana bukanlah tempat yang baik untuk hidup tenang.”
Bukan kemegahan yang diperlihatkan rombongan Mangir, tetapi lebih seperti pameran kemakmuran dan kebahagian. Pedati-pedatinya padat berisi hasil bumi, bergerak anggun seperti penari. Jedong-jedongnya berwarna-warni berisi sajian dan aneka makanan pelambang kesuburan. Sapi-sapi penarik pedati gemuk-gemuk, kulitnya putih bersih tanpa cela dan suara lenguhnya seperti orang membaca mantra. Ubarampe[1] dan srah-srahan[2] berjejer dipikul laki-laki dan perempuan.
Di sepanjang jalan yang dilewati, tetabuhan berbunyi seperti semilir angin yang menenangkan hati. Suara-suara obrolan dan tawa riang para abdi serta derap langkah para prajurit pengawal mengisyaratkan betapa bahagianya orang-orang. Di bagian depan rombongan, Ki Patih Rojoniti anggun tenang memimpin rombongan. Kepala kuda hitamnya mendongak menatap lurus ke arah depan. Tunggangan yang mengerti bagaimana layaknya bersikap ningrat.
Mereka hampir mencapai ibukota Mataram. Janur kuning dan umbul-umbul selamat datang mulai terlihat di kiri kanan jalan. Retno Pambayun melongok dari jendela kereta, bahagianya tak terkira melihat tanah Mataram yang dia rindukan. Jabang bayinya menendang-nendang. Ki Mangir senang melihat kegembiraan istrinya.
“Hampir tiba, Kangmas. Umbul-umbul dan janur kuning berkibar di mana-mana, rakyat Mataram ramai menyambut hangat kedatangan kita. Deretan janur kuningnya berarti restu dan pengharapan datangnya bahagia untuk kita,” kata Pambayun sambil menjulurkan kepalanya keluar jendela kereta.
“Tenangkan dirimu, Dinda. Kesenangan biar tetap ada di dalam kereta,” kegembiraan Pambayun membuatnya hampir lepas tata krama, Ki Mangir tersenyum melihat tingkahnya. Memerah pipi Pambayun sadar pada laku salah gembiranya.
“Tak mengapa, kau pasti sangat merindukan akar tanahmu,” lanjut Ki Mangir.
“Maafkan, Kangmas,” Kata Pambayun tersipu, “aku seperti melihat masa kecilku di sepanjang jalan ini.”
Prajurit Mataram mulai terlihat di kanan kiri jalan dan keramaian mulai dirasakan. Penjor janur kuning dan umbul-umbul makin terlihat rapat menandakan tujuan mereka makin dekat. Sebentar lagi rombongan Mangir akan sampai di istana Mataram.
ooOOoo
Ki Juru Mertani sibuk sejak pagi. Umbul-umbul dan penjor janur di batas kota sampai detil kerikil tak luput dari perhatiannya. Lengkung janur diatur sedemikian rupa, debu-debu dibersihkan, carang[3] dan batu dipinggirkan, dia ingin semuanya berjalan baik. Ngunduh mantu Ki Mangir bukan sekedar acara biasa. Ada siasat, tenaga, pertaruhan nyawa dan masa depan Mataram di dalamnya.
Prajurit, abdi dalem, para wiyogo bahkan kuda-kuda telah ditata agar berwajah gembira. Dan para pembesar tentu saja mengerti cara mengatur muka dan menampakkan wibawa. Juru Mertani kembali ke tempatnya–menjaga regol pechaosan[4]–tepat ketika matahari ada di titik tinggi. Gendhing-gendhing selamat datang dimainkan, pasangan penari siap menebar kegembiraan.
Tak lama, prajurit penjaga tergesa menghadap kei Juru Mertani. Rombongan Mangir telah tiba, katanya. Ki Juru Mertani memberi tanda, semua orang memperbaiki sikap dan geraknya; para wanita meluruskan lipatan jarik dan para pria memastikan rapinya beskap. Semua menunjukkan muka-muka bahagia.
Dari tempatnya berdiri, Ki Juru Mertani telah mengenali Retno Pambayun cucunya, berjalan anggun dituntun Ki Mangir. Perut besarnya menambah ayu wajahnya.
Berbulan-bulan Ki Juru Mertani menahan rindu pada cucunya itu.
ooOOoo
Rombongan Mangir berhenti di halaman istana, disambut sepasang penari gandrung pelambang kerukunan yang menari berputar-putar membuka jalan. Wajah Retno Pambayun sumringah, tangannya berpegang erat pada Ki Mangir. Keduanya berjalan menuju bangsal tarub.
Ki Patih Rojoniti dan beberapa pembesar Mangir mengiringi di belakang Ki Mangir, membawakan pusaka kakaknya tombak Baru Klinting terbungkus kain putih. Sikapnya gagah penuh wibawa. Tombak Baru Klinting adalah penanda wibawa bagi tanah perdikan Mangir.
“Sugeng rawuh, Ki Mangir dan cucuku Gusti Pambayun,” sambut Ki Juru Mertani di depan regol bangsal tarub. Sikapnya ramah, matanya bersinar penuh kegembiraan. Pertama kalinya Ki Mangir bertemu muka dengan Ki Juru Mertani. Setelah bertahun-tahun ada jurang permusuhan di antara keduanya, membuat Ki Mangir merasakan desir yang berbeda. Jiwa kesatria mampu menahan dirinya untuk tetap bersikap ramah. Ki Mangir membalasnya dengan keramahan yang setara.
“Sembah bekti kami berdua. Matur suwun, Ki Juru Mertani,” balas Ki Mangir. Sikapnya tenang penuh hormat. Pambayun tak kalah gembiranya menatap wajah kakeknya.
“Sembah bekti kami, Paman,” kata Retno Pambayun, bungah suka cita di hatinya membuatnya tak sanggup berkata-kata, tetapi sinar wajahnya telah mewakili semua.
“Monggo, silakan masuk. Kami telah menantikan kedatangan saudara-saudara Mangir kami,” Ki Juru Mertani menggeser sedikit tubuhnya, memberi jalan pada rombongan Mangir.
Para tamu melangkah masuk tetapi segera berhenti ketika Ki Juru Mertani berkata, “Mohon maaf sebesarnya, alangkah baiknya jika Ki Mangir menitipkan Tombak Baru Klinting barang sejenak ketika menemui Panembahan. Sungguh tidak elok rasanya jika ananda menemui ayahanda dalam keadaan membawa senjata.”
Ki Mangir menatap Ki Juru Mertani sebelum berpindah pada adiknya yang membawa tombak Baru Klinting. Ki Patih Rojoniti menggenggam erat batang tombak, prasangkanya tentang Mangir kembali terusik. Dia tidak akan menyerahkan pusaka Mangir pada siapapun.
Ki Mangir mencari akal, mencoba mengambil jalan tengah. “Baiklah, Ki. Memang benar tak baik membawa pusaka ke hadapan ayahanda mertua. Biarlah adikku Rojoniti tetap berada di di bangsal tarub menjaga Baru Klinting. Pusaka ini pelambang keberadaan Mangir, kewajiban bagi orang Mangir untuk menjaganya.”
Ki Juru Mertani tersenyum penuh penguasaan diri, “Monggo, Gusti. Tentu saja kami akan menyediakan tempat untuk Ki Patih.”
Dengan isyarat tangan rombongan melanjutkan melangkah melewati regol bangsal tarub.
Ki Patih Rojoniti menghela napas ketika tepat berada di depan regol. Regol itu memiliki pintu rendah, semua orang harus menunduk ketika melewatinya. Dan pusaka tombak Baru Klinting panjangnya melebihi tinggi orang dewasa. Dari sudut matanya dia melihat isyarat dari Ki Mangir untuk terus masuk Tak ada pilihan lain baginya, Ki Rojoniti membungkukkan badan dan Baru Klinting di tangannya dipaksa menunduk ke arah tanah memasuki regol bangsal tarub.
Pusaka Baru Klinting pantang dibawa sambil merunduk, wibawanya akan hilang. Ki Mangir dan Ki Rojoniti menyadari, Ki Juru Mertani sedang telah membuat siasat. Dia sedang melucuti wibawa pusaka Baru Klinting.
Rombongan terus berjalan. Rombongan dijamu di ruang pecaosan sementara Ki Rojoniti setia menemani Baru Klinting di tempat penitipan. Ki Mangir dan Retno Pambayun berjalan terpisah diiringi Ki Juru Mertani menuju dalem penangkilan tempat Panembahan Senopati berada.
ooOOoo
Tak seperti tempat lainnya yang sumringah oleh kegembiraan, ruang Penangkilan[5] terasa jengah. Untuk pertama kalinya Ki Mangir akan bertemu langsung dengan Panembahan Senopati. Pada posisi yang tiba-tiba, dari musuh menjadi menantu, dunia terbalik mereka membuat Ki Mangir salah tingkah.
Dari pintu masuk penangkilan, ketiganya jalan bersimpuh ke arah Panembahan Senopati yang duduk gagah di atas singgasananya. Aura wibawa dan kegembiraan bercampur seperti aroma gaharu dan wangi cendana. Harum wangi yang menyenangkan sekaligus membuat bulu kuduk meremang.
“Kemarilah, menantu dan putriku. Mendekatlah,” suara Panembahan bergema ke seantero ruangan.