“Celaka datang dalam bentuk apa saja, dari arah yang tak bisa disangka.”
Selepas subuh Wanabrang mengawal Ki Juru Mertani bertemu Panembahan Senopati di sawah pinggiran kota praja. Mataram sedang bergelimang kesenangan, begitu pula Panembahan dan Ki Juru Mertani. Rencana dan siasat panjang mereka mengakhiri permusuhan dengan Mangir telah selesai. Sekarang, Panembahan melihat masa depan Mataram dengan batas yang semakin luas.
Semula Wanabrang berjalan beberapa tumbak di belakang mereka, sengaja menjaga jarak agar tak dapat mendengar pembicaraan, sampai Ki Juru Mertani memberinya isyarat agar mendekat.
“Berjalanlah di belakang kami. Pagi ini tak ada rahasia yang ditutupi,” kata Ki Juru Mertani.
“Inggih, Gusti,” jawab Wanabrang penuh hormat. Tak enak baginya mendengarkan pembicaraan mereka berdua, tapi tak mungkin menolak permintaan Ki Juru Mertani. Wanabrang memilih berjalan sambil tetap menjaga jarak beberapa langkah di belakang mereka.
“Kau benar sejak awal, Paman,” kata Panembahan.
“Tentang apa, Gusti?”
“Terlalu gegabah menaklukkan Mangir dengan kekerasan,” sambung Panembahan, “dengan siasatmu, Mataram tak perlu kehilangan prajurit dan kita mendapatkan sekutu.”
Ki Juru Mertani tersenyum, menengok ke arah belakang lalu memberi isyarat tangan agar Wanabrang mendekat. Wanabrang berjalan lebih cepat ke arahnya, mengira ada sesuatu yang dibutuhkannya.
Ki Juru Mangir menepuk pundak Wanabrang, “Anak muda inilah yang melancarkan siasat kita pada Mangir, Gusti. Kau tentu ingat Kebo Wanabrang, lelaki kecil yang pernah aku janjikan.”
Panembahan Senopati menatap Wanabrang, Wanabrang segera menundukkan kepala menatap tanah sawah dan tak berani mengangkat muka. Dia tahu Panembahan Senopati masih menatapnya. Wanabrang menundukkan kepala semakin dalam, aura Panembahan Senopati tak sanggup dia tahan.
“Tentu saja aku ingat, Paman. Terimakasih untuk pengabdianmu. Kerja kerasmu menjadi batu pondasi bagi kebesaran tanah Mataram,” suara Panembahan Senopati terdengar berat, “kau telah mengubah musuh kuat menjadi sekutu hebat bagi Mataram.”
“Hamba hanya melaksanakan perintah Ki Juru Mertani, Gusti,” jawab Wanabrang memberanikan diri.
“Panembahan Senopati setuju menjadikanmu pengawal bagi Gusti Pambayun dan keluarganya,” sela Ki Juru Mertani, “mulai sekarang, kamu menjadi bayang-bayang bagi Pambayun dan Ki Mangir. Kemanapun mereka pergi, kau wajib mengawasi.”
“Inggih, Gusti,” jawab Wanabrang dan segera mundur ke belakang setelah keduanya melanjutkan pembicaraan.
Mereka terus berjalan, tangan Wanabrang teralihkan oleh rontokan kembang turi yang berjatuhan di sisi pematang. Dia mengambil sekuntum dan memainkannya di sepanjang jalan.
ooOOoo
Kediaman Ki Juru Mertani, malam hari
Malam ini Ki Juru Mertani memanggil Wanabrang ke kediamannya. Mereka bertemu di bagian belakang rumah yang tenang. Ada dua kursi yang dipisahkan oleh meja ketika Wanabrang datang. Senampan panganan dan seteko kopi panas telah tersaji di atas meja.
“Duduklah di kursi, hari ini kita bicara tanpa hirarki,” Kata Ki Juru Mertani tepat ketika Wanabrang akan duduk bersimpuh di depannya. Wanabrang terpaku dan gemetar, sungguh dia merasa tak pantas duduk sederajat dengan Ki Juru Mertani.
“Ampun, Ki. Hamba tak memiliki keberanian duduk di kursi setara dengan wali negeri,” jawab Wanabrang.
“Duduklah, pantas tak pantas sudah bukan urusan kita lagi. Duduklah, “suara Ki Juru Mertani berubah menjadi perintah. Wanabrang tak berani membantah dan dengan kikuk mengambil duduk di kursi samping Juru Mertani, dipisahkan meja kecil berkaki satu di bagian tengah.
“Wanabrang, mulai saat ini tugasmu berubah. Tugas utamamu menjaga keselamatan Gusti Pambayun dan Ki Mangir. Laporkan padaku kalau ada yang mengancam keselamatannya,” perintah Ki Juru Mertani.
“Sendiko, Ki,” Jawab Wanabrang. Setelah bertahun-tahun, berbicara dengan Ki Juru Mertani di kursi yang sejajar dengannya membuat Wanabrang salah tingkah. Dia lebih suka duduk bersila di lantai ketika menghadap Ki Juru Mertani.
“Pakailah baju yang pantas, kau akan berada di dalam istana menjadi peracik klembak Ki Mangir yang mengikutinya setiap saat. Aku telah mengatakannya pada Ki Patih Rojoniti.” Tentu saja Ki Juru Mertani telah mengatur detil kecilnya.
“Sendiko, Ki,” jawab Wanabrang berkali-kali.
“Sekarang, tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Nikmati penganan dan kopi ini,” Ki Juru Mertani menuangkan kopi ke dua cangkir kecil.
Bersama Ki Juru Mertani, mustahil tak ada yang perlu dibicarakan. Malam ini kami berbicara tentang Raden Ronggo dan para adipati bermuka dua.
ooOOoo