Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #18

Bab 17: Orang-Orang di Balik Kegelapan

“Tak ada yang lebih menakutkan daripada kemarahan yang ada di titik tenang. Seperti bara yang disembunyikan sekam tetapi panasnya masih menyala.”

 

Tugas terberat dari urusan duka dipikul oleh penyampai berita. Ki Juru Mertani memikul beban itu di pundaknya ketika menemui Retno Pambayun. Dengan penuh kasih dan hati-hati, Ki Juru Mertani menyampaikan berita kematian Ki Mangir pada cucunya. Tangis pecah di kediaman Pambayun, remang-remang Mataram sekarang tenggelam oleh gelapnya warna hitam. Pambayun pingsan berkali-kali. Mukanya memerah dan air mata mengalir tanpa henti.

“Oh, kakek yang aku cintai. Mengapa bisa terjadi? Apa salah suamiku pada Mataram? Kami datang membawa sembah bekti, kenapa dibalas dengan raja pati[1]?” dalam pelukan kakeknya, Pambayun bertanya berkali-kali. Ki Juru Mertani membelai rambut cucu kesayangannya. Tiap helai rambutnya seperti cambuk yang mendera rasa bersalahnya. Hati Ki Juru Mertani ikut hancur melihat duka di mata cucunya.

“Maafkan aku, cucuku. Tetapi demi jabang bayi di kandunganmu, tabahlah. Gonjang-ganjing belum selesai, tenangkan dirimu. Malam ini, aku harus membawamu pergi. Mataram tak aman bagimu saat ini, ada keturunan Mangir yang harus kau jaga di rahimmu,” Ki Juru Mertani melembutkan suara selembut yang dia bisa. Perlahan tangis Pambayun mereda, dia ingat janjinya pada Ki Mangir beberapa malam sebelumnya. Sekuat tenaga Retno Pambayun berusaha menguatkan hati dan menegakkan diri.

“Siapkan jalan lariku, Ki. Aku mau Wanabrang menjadi pelindungku,” kata Pambayun setengah terisak, setelah menguasai diri. Suaranya parau oleh duka yang datang tiba-tiba.

“Aku telah siapkan semuanya, cucuku. Saat ini, pengawal tambahan mengawal pintu masuk kediamanmu. Siapkan barang keperluanmu, Wanabrang akan segera menjemputmu,” Kata Ki Juru Mertani, “tenangkan dirimu. Aku akan membereskan kekacauan ini.”

Ki Juru Mertani melepaskan pelukannya lalu berdiri dan bergegas pergi. Dia berpaling sebentar pada Nyai Adiroso dan berkata padanya, “Jaga cucuku dengan nyawamu, Nyi. Dia telah menjadi anakmu sejak lama.”

“Sendiko, Ki,” jawab Nyai Adiroso, suaranya separau suara Gustinya. Hatinya remuk melihat kesedihan Pambayun.


ooOOoo


Selamatkan Retno Pambayun! Perintah Ki Juru Mertani. Wanabrang bergerak cepat mengumpulkan prajurit kawal yang ditunjuk Ki Juru Mertani. Seorang prajurit berlari kecil mendekat ke arahnya, sepertinya seorang perwira yang menjadi komandan regu.

“Sembah bekti, Ki. Aku Ki Lurah Bakelan, komandan kawal yang ditunjuk Ki Juru Mertani mendampingimu,” Kata lelaki itu. Badannya tinggi besar dengan kulit legam terbakar matahari.

“Berapa jumlah prajuritmu?” tanya Wanabrang.

“20 orang, Ki,” jawabnya cepat.

“Bawa semua senjata tapi tanggalkan baju prajurit kalian. Kita bergerak diam-diam tanpa seragam, tak perlu kelihatan,” perintah Wanabrang, dia telah menyusun jalur pelarian dan tujuan, “perintahkan orangmu menyiapkan kereta dan kuda-kuda secepatnya dan tunggu di belakang pintu istana.”

“Sendiko, Ki,” jawab Ki Lurah Bakelan. Dia segera mengatur anak buahnya yang sigap berlarian seperti kesetanan. Tiga orang memisahkan diri dan segera berlari ke arah luar, melaksanakan perintah yang diberikan Wanabrang. 

“Kita bertemu di pintu belakang istana,” sambung Wanabrang sambil berlari menuju kediaman Gusti Pambayun. Dua kerisnya terpasang menyilang di depan pinggang, begitu pula semua prajurit kawal. Mereka semua siap perang.

                                                                                                                                                   

ooOOoo


Belum pernah Ki Juru Mertani melihat muka Panembahan Senopati semerah ini. Kemarahannya telah mencapai puncak setelah mengetahui pembunuhan Ki Mangir. Rencana Mataram untuk mendapatkan sekutu kuat hancur berantakan. Pengorbanan Retno Pambayun menjadi sia-sia karenanya. Wajah cerah Mataram mendadak menjadi buram. Tindakan gegabah Raden Ronggo yang menjadi penyebabnya. Omongan Ki Juru Mertani sekarang menjadi kenyataan.

“Dimana bocah brangasan itu sekarang berada?” tanya Panembahan, suaranya datar menakutkan. Tak ada yang lebih menakutkan daripada kemarahan yang telah ada di titik tenang. Seperti bara yang disembunyikan sekam, tetapi panasnya siap membakar.

“Aku masukkan dia ke dalam bui. Tangannya terikat erat dan kepalanya aku tutupi karung goni, satu regu prajurit kawal istana menjaganya. Aku juga telah melukai simpul-simpul nadinya, mustahil baginya untuk meloloskan diri,” jawab Ki Juru Mertani.

Panembahan mendengus panjang, “Tak ada lagi yang bisa aku perbuat padanya, Paman. Tak ada seorangpun yang mampu mengatur tindak-tanduknya. Bocah ini tak mampu memikul beban Mataram. Dia menjadi ancaman paling nyata, bocah itu telah menjelma menjadi bahaya bagi kesultanan.”

“Aku mengerti, Gusti. Apapun keputusan Gusti, Aku akan laksanakan. Mataram tak hanya kehilangan sekutu kuat, tetapi telah mendapatkan musuh yang tak perlu. kita menjadi lemah karena tindakan liar Raden Ronggo. Aku khawatir, di masa depan akan lebih banyak kerusakan yang dia perbuat. Sekarang, masa depan Mataram tergantung pada keputusan Gusti Senopati,” lanjut Ki Juru Mertani. Bagaimanapun Raden Ronggo adalah cucunya, membayangkan keputusan yang akan dibuat Panembahan Senopati membuatnya ngeri.

“Aku tak punya pilihan lain selain menyingkirkan duri di dalam daging Mataram,” suara Panembahan semakin berat, “meski itu darah dagingku sendiri, Mataram jauh lebih berarti.”

“Hukuman apa yang hendak Gusti jatuhkan pada Raden Ronggo?” tanya Ki Juru Mertani. Tak ada waktu untuk berbasa-basi ketika huru-hara belum selesai.

“Tindakan Raden Ronggo membuat Mataram berhutang nyawa pada perdikan Mangir. Aku memberikan kuasa pati[2] ini pada Ki Patih Rojoniti, adik Ki Mangir. Berikan dia kesempatan membalas kematian kakaknya,” tegas suara Panembahan. Meski dirinya terbiasa mengatur siasat, masih ada kaget di hati Ki Juru Mertani.

“Baiklah Gusti, hamba akan menemui Ki Patih Rojoniti. Keputusan gusti adalah keputusan terbaik bagi Mataram,” pelan suara Ki Juru Mertani.

“Bagaimana dengan putriku Pambayun?” tanya Panembahan.

“Aku menduga Raden Ronggo tak sendiri, ada orang-orang di balik tindakannya. Dua prajurit Mataram yang ditugaskan mengawal Ki Mangir telah menunjukkan sikap khianat, pasti ada yang memerintahkan mereka. Aku pastikan bukan Raden Ronggo pelaku utamanya, dia tak mengenal siasat,” jelas Ki Juru Mertani. “Pambayun dan keturunan Ki Mangir tak akan luput dari bahaya, aku akan melarikannya keluar istana, malam ini juga.”

“Temuilah Ki Ageng Karanglo, dia punya hutang pada Pambayun atas siasat ini. Lakukan yang terbaik, paman. Aku percaya padamu.” Suara Panembahan berubah seperti dengusan.

“Sendiko, Gusti. Aku pamit mohon diri,” Ki Juru Mertani berpamitan sebelum menghambur ke arah luar.

Sekarang dia menjadi duta dari kabar duka bagi rombongan Mangir. Tak akan mudah menghadapi mereka, Ki Juru Mertani telah menghitung besarnya amarah dan bahaya jika dia bersikap salah. Ki Juru Mertani berjalan tergesa sambil terus memikirkan cara.


ooOOoo


Sekuat-kuatnya pokok trembesi, terpaan angin dan hujan akan membuatnya menari-nari. Pambayun yang sekokoh trembesi tak luput dari kesedihan yang teramat dalam. Dia berusaha kuat, menjaga janjinya pada Ki Mangir. Pembicaraan mereka di peraduan malam sebelumnya sekarang menjadi kenyataan. Pambayun menatap masa depan yang terasa suram.

“Nyai, siapkan semua keperluan,” Katanya pada Nyai Adiroso.

 “Sudah, Gusti. Keperluan terpenting kita telah aku masukkan bangkelan[3].” Kata Nyai Adiroso. Suaranya semakin parau. Kesedihan Pambayun menjadi kesedihannya juga.

“Bantu aku Nyai. Kuatkan diriku …,” pilu suara Pambayun. Tiba-tiba air matanya mengalir lagi. Duka ini semakin lekat mengendap. Berulangkali Retno Pambayun menyeka air mata yang mengalir tiada henti.

Nyai Adiroso memeluknya, “Sabar ya, Cah Ayu. Suamimu pasti menghendaki dirimu kuat, ada jabang bayi yang harus kau jaga dan selamatkan.” Hati Nyai Adiroso sehancur hati Pambayun, tapi dia berusaha kuat. Retno Pambayun menenggelamkan wajahnya ke pelukannya sesaat.

“Siapkan dirimu, Nyai. Wanabrang sebentar lagi datang, ” kata Pambayun, dia bangkit dari pelukan Nyai Adiroso.

Keduanya adalah prajurit, di saat segenting ini mereka paham cara bersikap. Retno Pambayun menanggalkan baju putrinya dan berganti celana seperti prajurit lelaki, begitu pula Nyai Adiroso. Rambut panjang mereka digelung dan ditutupi kain menyerupai surban.

Keris keduanya telah dipindah di depan pinggang, siap perang.


ooOOoo

Lihat selengkapnya