“Apa yang bisa dilakukan Mimi, ketika Mintuno pergi?”
“Sia-sia semua usaha dan kerja keras kita,” gemetar suara Panembahan, Dia bahkan tidak menanyakan berita Raden Ronggo. Di tengah amarah yang belum reda, Mataram tetap menjadi perhatian utamanya.
“Kita telah membuat dan menjalani rencana sekuat yang kita bisa dan hampir tanpa cela, Gusti,” kata Ki Juru Mertani, “saat ini yang bisa kita hanyalah meluruskan masa depan Mataram setelah tindakan Raden Ronggo.”
Panembahan menatap tanah luas taman sari, tangannya saling meremas tergenggam di belakang badan, "Engkau benar, Ki. Kita hanya bisa memetik pelajaran dari yang sudah terjadi. Untuk saat ini, tugas kita adalah membereskan kekacauan yang masih tersisa.”
“Jalan Mataram masihlah panjang dengan banyak urusan. Ijinkan Aku membereskan masalah Mangir. Ki Mangir memiliki calon keturunan dan Gusti Pambayun adalah trah Mataram. Ada kekacauan yang harus diperbaiki sekarang, agar kelak tak ada gonjang-ganjing urusan tahta Mataram.”
“Aku percayakan urusan ini padamu, paman. Bertindaklah hati-hati, ada Pambayun dan masa depan Mataram di urusan yang kau emban.”
“Sendiko, Gusti.” Jawab Ki Juru Mertani. Lelaki tua ini telah terbiasa dengan tugas berat dan tumpukan beban. Dia keluar dari istana Mataram dengan rencana-rencana di kepalanya.
Ki Juru Mertani berjalan di sela-sela gelap dan sesaknya udara Mataram.
ooOOoo
Kelompok hitam dan pertemuan diam-diam
Berita kematian Ki Mangir segera menyeberang keluar tembok istana. Entah siapa yang menjadi sumber berita. Banyak cerita tentang kejadiannya, sebagian besarnya tak benar-benar sama. Berita tentang peristiwa ini telah berubah menjadi banyak warna dan dibumbui banyak kata.
Di rumah tua pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan keramaian manusia, sekelompok orang bertemu diam-diam. Pertemuan di dalam kamar remang-remang. Empat orang berpakaian serba hitam, tiga orang berdiri sejajar menghadap sesosok tubuh tinggi kurus yang terlihat seperti pemberi perintah.
“Ki Mangir masih menyisakan keturunan. Urusan kita dengan Mataram belum selesai.” Si tinggi kurus membuka percakapan. Suaranya berat tak sesuai dengan tubuh kurusnya. “Memang siasat kita tak berjalan seperti rencana semula, tapi aku melihat peluang kita di masa depan.”
“Apa rencanamu, Ki?” Tanya lelaki di bagian tengah, tubuhnya pendek tambun dan suaranya melengking tinggi.
“Rakyat Mangir dan Mataram tak tahu peristiwa pasti kematian Ki Mangir. Buatlah cerita tandingan dan sebarkan. Buatlah rakyat Mataram tak menyukai Panembahannya dan rakyat Mangir makin membara dendamnya,” lanjut si Tinggi kurus.
Semua orang mengangguk paham. Mereka patuh dan semakin mengagumi pimpinannya. Masa depan kadipaten mereka ada di tangan lelaki tinggi kurus yang sekarang sedang mengatur rencana. Keempat lelaki itu adalah para adipati yang setengah hati tunduk pada Mataram karena ketakutan. Dan sekarang mereka sedang menyusun rencana menghancurkan Mataram dari dalam.
“Lemahkan Mataram, jika senjata dan prajurit kita tak bisa mengalahkan Mataram, kita lakukan dengan cerita dan kata-kata. Buatlah cerita dan rekayasa dari cerita benarnya lalu sebarkan,” perintahnya sekali lagi sembari memberi tekanan, “katakan pada rakyat Mangir dan Mataram, Panembahan Senopati-lah pembunuh Ki Mangir yang sebenarnya.”
“Dan kau, Ki,” tunjuknya pada lelaki gemuk yang berdiri di pojokan, “cari Pambayun dan keturunannya lalu habisi.”
“Aku telah siapkan satu regu prajurit pilihan. Mereka akan memburu keturunan Ki Mangir sampai kapanpun,” sahut si gemuk penuh keyakinan.
“Mataram dan Mangir tak boleh bersatu. Gabungan mereka akan menjadi kekuatan yang mustahil kita kalahkan,” lanjut si tinggi kurus, “kalian telah paham rencana yang aku katakan, sekarang kembali dan segera laksanakan.”
“Ingat, sebarkan berita kalau Panembahan Senopati-lah pembunuh Ki Mangir. Pilihlah kata dan kalimat terbaik. Sekarang, senjata kita bukan lagi tombak, keris dan pedang. Tapi kata-kata. Sebarkan di tengah keramaian pasar dan kerumunan orang-orang,” ulang si Tinggi Kurus memberi penekanan.
“Sendiko, Ki. Bersama-sama kita akan runtuhkan Mataram!” suara teriakan bergema seragam.
Mereka, para bupati dan adipati yang bermuka dua adalah duri sesungguhnya di daging Mataram.