Ditemukan di rumah besar tak berpenghuni–beberapa saat setelah meletusnya gunung Merapi–kotak kayu itu menjadi sumber pertikaian para kuli bongkar, yang entah dari mana nyali mereka berasal, berani mengaku sebagai ahli waris kotak kayu.
Terbuat dari kayu jati berukir yang dilapisi kulit sapi, diikat kuat oleh paku keling berbentuk bulat besar, keindahannya semakin sempurna oleh tambahan tali yang terbuat dari pilinan kulit jati. Siapapun akan tahu pemilik kotak ini pastilah bangsawan tingkat tinggi.
Kotak kayu itu berakhir di mejaku, datang di pagi hari bersama setumpuk laporan hasil ekskavasi. Kehadiran kotak kayu itu menarik perhatian mataku. Pada jadwal pertama pemeriksaan, aku membuka kotak itu dan menemukan tiga linting klembak menyan bersama daun lontar yang berisi catatan. Harum tembakau menguar tepat setelah aku membukanya.
Dengan kehati-hatian seorang ahli, aku menjajar daun lontar di atas meja dan mulai menyalin isi catatannya. Catatan tua yang bertanda nama Kebo Wanabrang di bagian bawahnya.
Inilah isi catatan itu:
-------------------------------------------------------------
Untukmu–siapapun juga dirimu–yang membaca catatan ini,
Aku berada di ujung umur ketika menceritakan kisah ini, terbaring sepanjang hari di atas ranjang.
Catatan ini aku buat sebagai pengingat paling penting dari perintah Ki Juru Mertani padaku; menjaga Gusti Pambayun dan keturunan Ki Mangir, menjadikan mereka ksatria sekaligus menjaga jarak dengan tahta Mataram.
Aku berumur panjang untuk menyaksikan banyak api perang. Di masa kecilku aku melihat garangnya Arya Penangsang, lalu ikut rombongan Ki Ageng Pemanahan saat Mataram hendak dilahirkan.