Takdir Tanah Mangir

Ferry Herlambang
Chapter #21

Bab 20: Takdir Darah Mangir

Pambayun dan Wanabrang tiba di kediaman Ki Karanglo saat pagi. Di depan lelaki yang membesarkannya, tangis Pambayun pecah oleh kesedihan yang tak mampu ditahannya lagi. Bagi Pambayun, Ki Karanglo telah menjadi orang tua keduanya. Masa kecilnya berada di bawah didikan dan pengawasan Ki Karanglo.

Lelaki ini telah menghindari Mataram karena sikap rendah hatinya. Untuk alasan itulah dia tak datang pada penyambutan Ki Mangir, tetapi dia mengetahui semua kabar berita dari orang-orang suruhannya.

“Malang benar nasibmu, Nduk. Baru saja kau bermimpi tentang kehidupan suami istri, kini harus ditimpa kemalangan yang tak terbayangkan.”

Pambayun tak berkata-kata lagi, dia melepaskan semua beban dihatinya pada Ki Ageng Karanglo. Ruangan menjadi muram.

Wanabrang duduk bersila di depan mereka, menunggu perintah yang mungkin datang padanya. Tubuh Pambayun masih berguncang-guncang oleh tangisan. Isak tangisnya mulai mereda saat siang hampir datang.

“Istirahatlah, Nduk. Kau kelelahan. Tidurlah, biar berkurang rasa sedihmu,” kata Ki Ageng Karanglo, “kamarmu masih dirawat seperti semula. Melati kegemaranmu masih disebarkan setiap pagi.”

Pambayun mengusap hidungnya, isaknya telah reda. Dia tak berkata apa-apa ketika melangkahkan kaki menuju tempat peraduannya. Ki Ageng Karanglo mengikutinya dari belakang.

Wanabrang segera pergi ketika seorang pelayan datang dan menuntunnya menuju tempat peristirahan.


ooOOoo


Panembahan Senopati menutupi duka dengan mengangkat kepala. Meski begitu, Ki Juru Mertani dapat merasakan kesedihan yang sekarang menjadi gumpalan awan hitam di atas Mataram.

“Aku kehilangan segalanya …,” ucap Panembahan, “dua keturunanku hilang dari pelukan.”

Tak ada suara. Taman sari menjadi sunyi. Panembahan menatap ke arah depan dan Ki Juru Mertani masih diam mendengarkan.

“Aku mengerti besarnya pengorbananmu demi Mataram, Gusti. Sungguh besar,” Ki Juru Mertani membuka suara, “tak salah ayahanda-mu mempercayakan masa depan Mataram padamu.”

 “Katakan tentang Pambayun, Paman.”

Ki Juru Mertani telah mengatakannya sebelumnya, Panembahan Senopati hanya ingin mendapatkan kepastian.

“Mereka telah sampai di kediaman Ki Karanglo,” jawab Ki Juru Mertani,” telik sandi-ku melaporkannya tadi pagi.”

“Karanglo terlalu dekat dengan Mataram. Aku khawatir bahaya itu masih mengancam Pambayun dan anak yang sedang dikandungnya.”

“Aku percaya Ki Karanglo akan mampu melindunginya. Beliau pasti telah berhitung dan akan mengambil langkah terbaik untuk Pambayun.”

Panembahan Senopati menarik napas panjang. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.


ooOOoo


Penginapan kecil, tersembunyi di sudut Kotagede.

Lampu utama dimatikan, hanya tersisa ublik kecil yang menyala remang-remang di sudut ruangan. Tak seperti biasanya, hanya tiga orang yang datang ke pertemuan diam-diam. Lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan terlihat geram, bahasa tubuhnya tak tertutupi. Dia berlalu-lalang di depan dua lelaki yang duduk diam di depannya.

“Tak adakah pekerjaan kecil yang mampu kalian lakukan? Kesalahan kalian sungguh memalukan!” si lelaki tinggi setengah berteriak.

“Keadaan kacau, tak seperti yang kita harapkan,”

“Kalau kau cerdik, kau pasti memiliki rencana cadangan.”

“Kami sudah melaksanakan rencana cadangan ketika Pambayun melarikan diri,” bela lelaki satunya yang bertubuh tambun, “tetapi mereka mengelabui kami. Mereka berpisah di tengah hutan, dan kami memburu robongan yang salah.”

“Kalian membunuh semua orang. Kesalahan besar yang tidak aku inginkan. Mencolok mata dan menarik perhatian.”

“Tidak semua, Ki. Ada satu perempuan yang kami biarkan pergi. Semula kami mengira dia Retno Pambayun,” potong si lelaki tambun.

Si lelaki kurus tak ingin tenggelam oleh kegagalan, dia mulai membuat rencana baru.

“Urusan Pambayun bukanlah urusan jangka pendek. Tujuan utama kita adalah melemahkan sendi Mataram pelan-pelan.”

“Apa rencanamu, Ki?”

“Bikin lemah Panembahan Senopati. Bukan dengan senjata, tetapi dengan kata-kata,” lanjut si Kurus Tinggi.

Dua orang lelaki di depannya saling pandang tak mengerti.

“Kau ingin mengajak bicara Panembahan Senopati?” tanya si Tambun.

Hampir meloncat si Kurus Tinggi, “Betapa bodohnya, Kau!” umpatnya dengan nada tinggi.

“Aku tak paham, Ki ….”

“Sebarkan anak buah dan telik sandi-mu ke Mataram dan Mangir. Buatlah omongan seolah Panembahan Senopati-lah yang membunuh Ki Ageng Mangir. Tambahi dengan bumbu cerita yang membuat bulu kuduk berdiri.”

Dua orang lelaki di depannya mengangguk mulai mengerti.

Lihat selengkapnya