Bertahun-tahun yang lalu, saat Mataram masih serupa janin yang sedang diusahan kelahirannya, Ki Ageng Pemanahan bersama orang terdekatnya berangkat dari dusun Pemanahan menuju hutan Mentaok sebagai hadiah tanah perdikannya. Perjalanan panjang yang melelahkan, memaksa rombongan berjalan pelan.
Saat sapi penarik pedati dan kuda-kuda bawaan jalannya tak lurus lagi, Ki Juru Mertani mendekati Ki Ageng Pemanahan yang menjadi kepala rombongan.
“Kita harus mencari tempat istirahat, Ki,” Kata Ki Juru, “kuda-kuda dan sapi tak kuat lagi. Kusir-kusir dokar dan anggota rombongan sudah lelah.”
Ki Ageng Pemanahan tak berniat berhenti, tetapi omongan Ki Juru Mertani menyadarkannya, anggota rombongan tak sekuat dirinya.
“Carilah kampung terdekat, kita istirahat di sana,” sahut Ki Ageng Pemanahan.
Ki Juru Mertani memanggil seorang bocah yang menumpang pada pedati paling belakang, “Kemarilah,” teriaknya sambil memberikan isyarat tangan.
Bocah kecil itu, Kebo Wanabrang, meloncat dari atas pedati dan berlari menuju ke arah Ki Juru Mertani.
“Sendiko, Ki,” suara kecilnya terdengar keras, trengginas seperti gerak tubuhnya. Sikapnya dewasa melebihi usianya.
“Ambil kuda di depan, cari perkampungan terdekat,” perintah Ki Juru Mertani.
Wanabrang kecil segera berlari dan meloncat ke punggung kuda yang ditunjuk Ki Juru Mertani. Bocah kecil itu memacu kudanya layaknya prajurit terbaik, melewati jalan setapak lalu menembus lebatnya pepohonan yang menyerupai hutan. Bocah kecil itu tak mengenal rasa takut.
ooOOoo
Dusun Taji berada di sela-sela persawahan dan hutan. Ketenangannya berupa semilir angin dan suara burung-burung, mengubah penduduknya yang tak seberapa menjadi orang-orang dengan keramahan yang luar biasa.
Saat semua orang sudah meninggalkan sawah dan tegalan, Ki Ageng Karanglo masih sibuk mencangkuli petak tanah di depan rumah. Ubi kayunya tumbuh besar, kacang panjangnya pepat panjang menjuntai dari atas bambu-bambu yang disusun sebagai tempat tumbuhnya. Rumah Ki Ageng Karanglo berada di bagian ujung dusun, di tepi hutan.
Cangkulnya masih tertancap di tanah ketika terdengar suara derap kuda. Ki Ageng Karanglo menoleh ke arah sumber suara dan melihat sesosok bocah kecil memacu kuda dengan tergesa. Dia melambaikan tangan memberi tanda. Senyumnya sumringah pada kedatangan bocah berkuda yang asing baginya.
“Hendak ke mana kau, Bocah? Kau tersesat” seru Ki Ageng Karanglo.
Wanabrang, bocah itu, menarik tali kekang dan laju kudanya segera berhenti beberapa depa di depan Ki Ageng Karanglo. Wanabrang meloncat turun dan berjalan dengan sikap hormat ke arah Ki Ageng Karanglo.
“Namaku Wanabrang, Ki. Aku diutus ndoro-ku mencari perkampungan. Rombongan kami kelelahan,” jawab Wanabrang setelah berada di depan Ki Ageng Karanglo.
“Di mana rombonganmu sekarang?”
“Di balik hutan itu,” jawab Wanabrang sambil menunjuk hutan tempatnya datang.
“Tak jauh,” imbuh Ki Ageng Karanglo, “kembalilah ke rombonganmu. Katakan pada ndoro-mu untuk segera datang, silakan istirahat dan menginap di rumahku.”
ooOOoo
“Siapa bocah itu, Ki?” tanya Ki Pemanahan pada Ki Juru Mertani, tepat setelah punggung Wanabrang hilang dari pandangan.
“Aku temukan bocah itu setelah goro-goro Jipang, Ki,” jawab Ki Juru Mertani, “matanya tajam melihat semua kejadian. Otaknya cerdas memahami banyak permasalahan, tulang dan ikatan sendi-nya kuat melebihi anak-anak biasanya.”
Ki Pemanahan tersenyum, “Kau akan mengangkatnya menjadi anak?”
Ki Juru Mertani tersenyum mengiyakan, “Kelak, biar dia menjaga putramu Sutawijaya dan tanah perdikan yang akan kau dirikan.”
Sutawijaya tersenyum pada pamannya. Mereka beristirahat sebentar, suasana menjadi tenang tanpa percakapan. Ketenangan pecah ketika terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi Wanabrang.
Tak lama Wanabrang sampai, berhenti dan segera meloncat dari punggung kuda.
“Di balik hutan ini aku menemukan perkampungan, Ki. Seorang penduduknya mengundang kita untuk beristirahat di rumahnya.”
“Bagus, Le. Kembalilah ke kudamu, tuntun kami menuju rumah lelaki itu,” balas Ki Juru Mertani.
Mereka tak berlama-lama, Ki Ageng Pemanahan segera memberi perintah pada rombongan untuk meneruskan perjalanan, mengikuti kuda Wanabrang yang berjalan pelan.
ooOOoo
Ki Ageng Karanglo bukanlah oranglah sembarangan, dia disegani oleh semua orang. Setelah kepergian Wanabrang, dia segera memanggil banyak orang dan menyiapkan kediamannya menjadi tempat penginapan.
Kesibukan segera terlihat. Ruang-ruang dibersihkan, makanan disiapkan dan penduduk memasang wajah senang menunggu kedatangan tamu yang akan datang. Beberapa ekor domba dan entah berapa ekor ayam mereka sembelih sebagai persiapan. Laki-laki dan perempuan datang membantu.
“Siapa mereka, Ki?”
“Aku belum tahu, utusan mereka yang tadi bicara denganku, “sahut Ki Ageng Karanglo, “mereka pasti telah menempuh perjalanan panjang.”
“Atau kebingungan tak tahu arah tujuan,” sahut salah satu penduduk. Mereka tertawa sambil melanjutkan kerja.
“Sepertinya mereka datang, Ki,” seru seseorang sambil menunjuk ke arah jalan kecil yang membelah hutan.
Ki Ageng Karanglo menoleh dan melihat serombongan orang berkuda dan pedati berjalan pelan dari dalam hutan. Terlihat jelas sebagai rombongan yang kelelahan.
ooOOoo
Rombongan Ki Ageng Pemanahan berhenti di depan rumah Ki Ageng Karanglo. Sang tuan rumah menyambutnya, berdiri dengan sikap ramah di tepi jalan halaman. Ki Ageng Pemanahan segera turun dari kuda dan memberikan penghormatan padanya.
“Selamat siang, Ki. Aku Ki Ageng Pemanahan. Kami hendak ke hutan Mentaok tetapi rombonganku kelelahan,” sapa Ki Ageng Pemanahan ramah.
“Saya Ki Ageng Karanglo. Monggo, kami telah siapkan tempat untuk beristirahat,” sambut Ki Ageng Karanglo dengan keramahan seorang teman.
Meeka berbincang sebentar sebelum rombongan turun dari kuda dan pedati.
“Beristirahatlah, Ki. Kami akan mengurus kuda-kuda dan sapi kalian,” lanjut Ki Ageng Karanglo.
Sungguh, Ki Ageng Pemanahan tak menyangka keramahan penduduk yang menyambutnya. Mereka telah menyiapkan tempat menginap, bermacam jajanan dan menjamunya dengan banyak makanan.